Penggunaan buku Aku Senang Belajar Bahasa Indonesia untuk siswa sekolah dasar sekali lagi menunjukkan kelalaian pendidik. Buku penunjang siswa kelas VI SD Negeri Polisi 4 di Bogor ini jelas bermuatan pornografi, dan sudah seharusnya ditarik dari peredaran. Sanksi berat semestinya dijatuhkan terhadap kepala sekolah yang sembrono.
Buku terbitan CV Graphia Buana itu memuat kisah Anak Gembala dan Induk Serigala yang bertutur tentang perempuan hamil korban pemerkosaan dan kemudian berjuang di warung remang-remang demi menghidupi anaknya. Pertanyaannya: moralitas apa yang hendak diajarkan dari cerita ini?
Kisah itu, apalagi dibumbui adegan seks dengan menggunakan bahasa orang dewasa, tidaklah pantas sekaligus berbahaya jika disuguhkan untuk siswa. Ahli bedah otak asal Amerika Serikat, Dr Donald Hilton Jr., bahkan meyakini pornografi dapat merusak prefrontal cortex di otak anak. Kerusakan ini membuat anak tak mampu mengendalikan nafsu dan emosi serta mengambil keputusan.
Fakta bahwa cerita Anak Gembala diunggah begitu saja dari blog seorang penulis cerpen juga menggambarkan betapa buku itu dibikin secara asal-asalan. Penerbit yang telah mencetak buku tersebut sebanyak 10 ribu eksemplar terkesan memburu keuntungan bisnis semata.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor semestinya cepat bertindak. Ia perlu memberi sanksi terhadap kepala SD yang mengizinkan penggunaan buku itu. Tiadanya sanksi justru semakin mencurigakan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penerbit buku siswa kerap kongkalikong dengan kalangan pendidik dan pejabat setempat. Inilah yang membuat mereka sering mengabaikan mutu buku siswa dan harga buku menjadi terlalu mahal.
Munculnya kisah tak mendidik dalam buku siswa bukanlah yang pertama. Di banyak daerah, cerita atau gambar porno dan kisah tak pantas juga kerap terselip dalam buku siswa. Setahun lalu, misalnya, kisah Bang Maman dari Kali Pasir membikin geger publik Jakarta. Cerita tentang tokoh lokal yang memiliki istri simpanan itu masuk buku penunjang siswa kelas II SD 9 Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu turun tangan mengusut kasus buku di Bogor itu. Penerbitnya mesti diberi sanksi atau di-black list. Pejabat dan pendidik setempat yang sembrono pun tak bisa dibiarkan. Perlu diusut, apakah ada kongkalikong dengan penerbit. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, para pendidik jelas dilarang terlibat atau mengambil manfaat dari bisnis buku siswa.
Kita juga perlu memikirkan mekanisme seleksi buku yang lebih baik. Orang tua murid, praktisi penerbitan, dan pemerhati buku anak bisa dilibatkan untuk mencegah lolosnya buku-buku yang tidak pantas untuk siswa. Tanpa adanya perubahan mekanisme pemilihan buku, kelalaian serupa niscaya gampang terulang.