Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan remisi bagi narapidana korupsi pada hari Lebaran nanti adalah langkah mundur. Keputusan ini bertolak belakang dengan semangat antikorupsi. Langkah ini juga menunjukkan betapa Menteri Amir Syamsuddin tidak teguh menghadapi serangan balik para koruptor.
Pemberian remisi itu bersumber dari surat edaran Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013. Surat itu menyatakan bahwa PP No. 99/2012, yang isinya memperketat pemberian remisi, hanya berlaku bagi narapidana yang putusannya berkekuatan hukum tetap sejak 12 November 2012. Artinya, mereka yang divonis sebelum aturan itu terbit tetap berhak menikmati diskon hukuman.
Semangat PP No. 99/2012 itu sudah bagus. Dengan aturan ini, terpidana korupsi, teroris, pembalak liar, penjahat narkoba, dan pelaku kejahatan lintas bangsa sulit mendapatkan remisi. Tujuannya, memperbesar efek jera. Mereka hanya berhak menerima pengurangan hukuman bila bersedia menjadi justice collaborator atau membayar uang pengganti.
Semestinya Menteri Amir mempertahankan aturan ini, bukannya malah memperlonggarnya dengan menyatakan ketentuan itu tak bisa berlaku surut (asas retroaktif). Memang benar, dalam kondisi normal, peraturan yang berlaku surut tidak sesuai dengan asas hukum. Namun Menteri Amir tak boleh lupa bahwa latar belakang terbitnya peraturan itu adalah untuk mendorong pemberantasan kejahatan luar biasa, salah satunya kejahatan korupsi.
Menteri Amir seharusnya sepakat, korupsi tidak hanya merugikan negara, tapi juga menyengsarakan rakyat. Triliunan rupiah yang semestinya berguna untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat telah digarong para koruptor. PP No. 99/2012 yang berlaku surut itu adalah terobosan hukum sehingga narapidana koruptor, tanpa kecuali, tak gampang menerima diskon hukuman. Itulah ganjaran yang pantas bagi mereka.
Selama ini kita melihat banyak koruptor divonis terlalu ringan. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, misalnya, koruptor rata-rata hanya divonis 4 tahun 3 bulan. Di pengadilan umum bahkan lebih ringan, rata-rata di bawah 2 tahun. Dengan vonis enteng itu pun, mereka masih mendapat remisi. Inilah yang harus dihentikan sehingga lahir PP No. 99/2012 tadi.
Ada kesan, langkah Menteri Amir ini dilakukan setelah terjadi berbagai manuver para pembela koruptor. Misalnya, aksi hukum oleh Rebino, Abd Hamid, Jumanto, dan kawan-kawan--semuanya terpidana korupsi. Didampingi Yusril Ihza Mahendra, mereka mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung atas Pasal 34A PP No. 99/ 2012. Lalu, sejumlah narapidana korupsi di LP Sukamiskin, Bandung, dengan dukungan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, menggugat peraturan yang sama. Mereka meminta perlindungan hukum dan HAM kepada DPR. Surat itu lantas diteruskan Priyo kepada Presiden. Tekanan terakhir dilakukan sejumlah narapidana LP Tanjung Gusta, Medan. Setelah melakukan kerusuhan, ujug-ujug mereka menuntut revisi atas aturan pengetatan remisi .
Ketimbang memperlonggar aturan remisi, Menteri Amir semestinya berjuang keras agar hukum tetap tidak bersahabat bagi para koruptor dan pelaku kejahatan berat lain. Hal ini bisa diawali dengan mencabut surat edaran yang seolah menjadi kado Lebaran bagi para koruptor tersebut.