Melonjaknya harga daging dua pekan terakhir ibarat penyakit menahun: diatasi, lalu kambuh lagi. Pekan ini, harga daging yang biasanya berkisar Rp 75 ribu dengan cepat meroket menjadi Rp 120 ribu per kilogram. Lonjakan harga kian terasa berat bagi banyak orang karena harga sejumlah bahan kebutuhan pokok lain pun merambat naik. Dan, seperti biasa, pemerintah seperti tak berdaya. Padahal penyebab tingginya harga daging selalu sama dari tahun ke tahun: terbatasnya stok daging saat puasa dan menjelang Lebaran.
Sebetulnya pemerintah sudah berusaha mengantisipasi lonjakan itu. Maret lalu, dibuat aturan baru dengan mempercayakan impor daging sapi Australia ke Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Cara ini diharapkan bisa menghilangkan permainan distribusi dan membuat harga daging tetap wajar. Bulog pun diberi kuota 3.000 ton daging. Jumlah ini semestinya cukup untuk menstabilkan harga daging di 148 titik pasar se-Jabodetabek. Sistem distribusi pun diperkuat. Pengiriman daging impor dari Australia tidak hanya melalui jalur laut, tapi juga udara. Lewat jalur udara, setiap hari 20 ton daging masuk. Pemerintah pun optimistis, pada H-7 Lebaran, daging yang mengguyur Jabodetabek bisa mencapai 1.000 ton.
Tapi begitulah, perhitungan di atas kertas ternyata meleset. Menjelang pertengahan Ramadan, harga daging sudah meroket. Sistem yang dirancang tak berjalan mulus karena ternyata Bulog sampai menjelang puasa tak memiliki fasilitas lemari pendingin daging (cold storage) yang memadai. Padahal lemari pendingin adalah syarat utama perizinan impor. Sistem baru yang memberi amanah kepada Bulog sebagai importir daging ternyata diputuskan tanpa dukungan infrastruktur memadai.
Melihat kondisi begini, usul Menteri Perdagangan Gita Wirjawan agar kuota impor daging Bulog ditambah sungguh tak menyelesaikan soal. Dengan kuota yang sekarang pun, Bulog belum mampu memenuhi kewajibannya. Sekarang Bulog memang sibuk menggenjot pembuatan pendingin baru. Tapi waktu semakin sempit. Sebentar lagi Lebaran datang. Kebutuhan akan daging meningkat, namun fasilitas penampungan tak memadai.
Kebijakan tambal-sulam seperti inilah yang ikut menyumbang pada kegagalan pemerintah menahan gejolak harga daging. Hari-hari ini Bulog sibuk membuat storage. Bisa dibayangkan pembuatan karantina daging itu pasti dilakukan tergesa-gesa. Dengan kuota yang ada saja, daging tak tertampung. Apalagi jika ditambah. Tapi, di sisi lain, kebutuhan akan daging memang makin meningkat.
Yang terjadi kemudian, memang harga daging sulit dikendalikan. Jika hal ini tak segera diatasi, jangan-jangan nantinya harga daging sapi meroket lebih tinggi dibanding pada zaman sebelum dipegang Bulog. Bahkan bisa lebih buruk, diikuti kenaikan harga daging ayam, bawang merah, dan cabai merah, karena Bulog dipersiapkan menjadi pengimpor bawang merah dan cabai merah.
Tentu kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan Bulog, apalagi menjadikannya kambing hitam. Yang harus dilakukan adalah menata ulang impor daging. Untuk sementara, keran impor daging kembali dibebaskan ke perusahaan-perusahaan distributor daging sapi yang lebih siap. Ini memang langkah mundur, tapi harus dilakukan sambil menunggu Bulog siap. Dalam jangka panjang, yang harus digenjot adalah mengurangi impor dan meningkatkan produksi daging lokal. Pemerintah sudah menargetkan 2014 sebagai tahun swasembada. Program inilah yang harus diprioritaskan. Sebab, terus-menerus bergantung pada daging impor sangatlah merugikan.