Tidak semestinya salah ketik putusan kasasi kasus Yayasan Supersemar dianggap sebagai keteledoran biasa. Kekeliruan ini amat mencurigakan dan terkesan sebagai modus yang rutin. Apalagi kesalahan kali ini berakibat amat serius: tidak bisa dieksekusinya putusan. Denda triliunan rupiah pun batal masuk kas negara.
Putusan yang diketok pada 2010 itu sebetulnya amat melegakan. Majelis kasasi memenangkan Kejaksaan Agung-mewakili negara-dalam gugatannya terhadap Yayasan Supersemar dan ahli warisnya. Putusan majelis kasasi-beranggotakan Harifin Tumpa, Dirwoto, dan Rehngena Purba-ini memperkuat vonis pengadilan negeri dan tinggi, tapi dengan sedikit koreksi.
Ketika menuliskan putusan yang sedikit berbeda itulah muncul salah ketik. Di situ dinyatakan, tergugat dihukum membayar kepada negara US$ 315 juta (sekitar Rp 3,15 triliun) dan Rp 139,2 juta. Angka pertama tak ada yang salah, tapi yang terakhir seharusnya Rp 139,2 miliar.
Terlihat sepele, tapi gara-gara salah ketik itu, seluruh putusan tidak bisa dieksekusi. Perbaikan juga tidak mungkin dilakukan karena hakim agung yang memutus perkara itu sudah pensiun. Karena itulah juru bicara MA, Ridwan Mansyur, menyarankan agar kejaksaan mengajukan peninjauan kembali. Ia juga menegaskan, salah ketik itu murni keteledoran lantaran dari 108 halaman putusan, hanya satu halaman yang keliru.
Masalahnya, dengan argumen yang sama, orang bisa berpendapat berbeda. Justru karena kesalahan hanya terjadi pada amar putusan, hal itu amat mencurigakan. Keanehan lain, putusan yang sudah dikeluarkan tiga tahun lalu tersebut baru sekarang ketahui salah ketik. Artinya, selama ini tidak ada upaya untuk mengumumkan dan mengeksekusi secepatnya.
Semua kejanggalan itu mesti diusut oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Sudah berulang kali panitera MA melakukan kesalahan serupa. Kita masih ingat, penulisan vonis bandar narkotik Hanky Gunawan juga keliru. Vonisnya ditulis 12 tahun, padahal seharusnya 15 tahun penjara. Kekeliruan, bahkan bisa disebut pemalsuan, ini terungkap karena salinan putusan kasasi yang dikirim ke pengadilan negeri berbeda dengan yang muncul di situs MA. Kasus Susno Duadji pun sempat diributkan karena terjadi kesalahan penulisan nomor putusan kendati tidak sampai mempengaruhi eksekusi.
Bukan hanya panitera yang perlu dicurigai, anggota majelis kasasi juga perlu diselidiki. Dalam kasus Hanky Gunawan, anggota majelis hakim kasasi terlibat dalam pemalsuan. Kali ini pun bukan tidak mungkin anggota majelis kasasi berperan. Sebelum putusan diberikan kepada pihak yang beperkara, mereka pun berkewajiban memeriksanya terlebih dulu.
Tanpa adanya pengusutan, salah ketik putusan itu akan semakin mencoreng MA sekaligus merusak kepastian hukum. Dampak kesalahan ini akan kian besar bila perkara Supersemar kelak semakin menjadi ruwet dan sulit dieksekusi.