Setiap orang punya kebebasan untuk memilih investasi yang paling menguntungkan. Meski demikian, adalah tugas negara untuk menjaga agar mereka terhindar dari jebakan skema investasi yang tidak prudent. Karena itulah, sudah tepat keputusan Otoritas Jasa Keuangan menghentikan pengumpulan dana yang dilakukan Yusuf Mansur.
Tanpa izin dan pertanggungjawaban yang memadai, sang ustad mengumpulkan dana investasi dari para anggota jemaahnya. Dia menawarkan dua jenis bisnis: patungan usaha dan patungan aset. Untuk patungan usaha, salah satunya hotel di dekat Bandara Internasional Soekarno-Hatta, dia memasang tarif Rp 12 juta per investasi. Imbal baliknya bunga 8 persen per tahun, dan modal kembali setelah 10 tahun. Yusuf juga punya banyak janji investasi lain, dari jual-beli tanah hingga akuisisi stasiun televisi dan bank.
Kegiatan Yusuf Mansur masuk kategori penawaran umum, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Sesuai dengan Pasal 70 ayat 1 undang-undang ini, penawaran umum hanya boleh dilakukan oleh pihak yang telah mendaftarkan rencana kegiatan tersebut kepada Badan Pengawas Pasar Modal. Mengabaikan aturan ini, sanksinya berat: diancam pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp 15 miliar. Perusahaan juga dilarang menjanjikan persentase imbal hasil tetap seperti dilakukan Yusuf.
Pengaturan kegiatan pengumpulan dana publik untuk investasi penting demi melindungi masyarakat. Banyak yang telah menjadi korban penipuan berkedok investasi. Metode yang paling sering dipakai adalah skema Ponzi. Istilah ini berasal dari nama Charles Ponzi, orang Amerika Serikat yang pada 1920 menawarkan investasi dengan keuntungan 100 persen dalam waktu singkat. Belakangan ketahuan, ia menggunakan uang investor baru untuk membayar kewajiban kepada pemodal terdahulu. Tak sampai setahun, ia bangkrut. Para investornya rugi sekitar US$ 20 juta saat itu.
Salah satu kasus skema Ponzi terbesar dilakukan oleh Bernard L. Madoff Investment Securities LLC, yang berkantor di Wall Street. Terbongkar, pada 2009 Madoff dihukum penjara 150 tahun. Uang nasabah yang ditipu mencapai US$ 6 miliar, di antaranya milik para pensiunan.
Di Indonesia, Yusuf bukan orang pertama yang menawarkan investasi dengan janji bagi hasil tetap yang besar. Belum lama ini, misalnya, terungkap kasus Golden Traders Indonesia Syariah. Sempat mengantongi sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia, perusahaan investasi emas ini dicurigai bodong. Hampir seribu investor mengadu ke Otoritas Jasa Keuangan.
Yang menjadi masalah, pihak otoritas sering terlambat menyadari investasi tak jelas semacam ini. Di sinilah dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk melaporkan kegiatan bisnis yang mencurigakan. Masyarakat harus lebih berhati-hati. Janji imbal hasil yang lebih besar daripada bunga deposito harus dicurigai. Kita tidak perlu ragu mempertanyakan legalitas perusahaan maupun investasi yang ditawarkan, termasuk oleh tokoh terkenal seperti Yusuf Mansur. l