Djodi Supratman bukan seorang hakim agung. Ia hanya staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung. Tapi sepak terjangnya justru menggambarkan betapa rumit praktek suap perkara di MA. Djodi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga membantu pengacara memuluskan perkara.
Si tersangka tertangkap basah membawa uang Rp 78 juta di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, pekan lalu. Uang itu diduga merupakan suap dari Mario C. Bernado-pengacara di kantor pengacara Hotma Sitompoel-berkaitan dengan penanganan perkara kasasi di lembaga peradilan tertinggi tersebut. Mario akhirnya ditangkap satu jam kemudian.
KPK masih menyelidiki motif pemberian duit untuk Djodi, yang bekas petugas satpam. Jika terbukti uang tersebut untuk melicinkan perkara yang ditangani kantor Hotma, hal itu akan semakin menunjukkan bobroknya peradilan kita. Kebiasaan buruk-orang bisa menyebutnya sebagai praktek mafia perkara-belum punah di lembaga peradilan tertinggi itu. Reformasi di sektor penegakan hukum seakan berjalan di tempat.
Praktek yang berurat-berakar sejak Orde Baru itu melibatkan hampir semua penghuni MA, mulai dari petugas satpam, staf, panitera, hingga hakim agung. Mereka memanfaatkan setiap celah untuk "berbisnis" perkara dengan pengacara atau pihak yang beperkara. Untuk mempercepat atau memperlambat aliran berkas perkara saja ada harganya, apalagi memenangkan sebuah kasus.
Pembelaan Tommy Sihotang, pengacara Mario, juga tidak terlalu salah. Ia mengatakan tak mungkin menyuap hakim hanya dengan Rp 78 juta. Hanya, pernyataan ini menjadi misleading karena KPK belum memastikan apakah uang itu untuk menyogok hakim agung atau sekadar memuluskan aliran perkara. Pemberian duit itu bisa juga baru transaksi awal atau sekadar uang muka.
Campur tangan mafia perkara sering membuat putusan MA amburadul. Muncul banyak putusan yang janggal dan salah ketik. Tak sedikit putusan yang lambat diumumkan atau tidak segera dikirim ke pengadilan negeri sehingga terlambat dieksekusi. Semua ini merusak kepastian hukum. Proses hukum juga berjalan bertele-tele dan mahal, serta putusannya jauh dari rasa keadilan masyarakat.
Peran pengacara perlu disorot karena mereka juga ikut melestarikan praktek kotor. Untuk memenangkan kliennya, pengacara kerap menghalalkan segala cara, termasuk menyuap. Tanpa adanya permintaan dari pengacara atau pihak yang beperkara, "bisnis" para pegawai MA tak akan memiliki "pasar". Karena itu, organisasi advokat harus bertindak tegas terhadap Mario. Tanpa harus menanti penanganan kasus suapnya di KPK, izin pengacara ini semestinya segera dicabut.
Khalayak tentu menunggu pula reaksi Komisi Yudisial dan petinggi Mahkamah Agung. Kasus Djodi jelas semakin menghancurkan citra MA. Sepantasnya ia segera dipecat. Keterlibatan pegawai yang lain dan hakim agung yang menangani perkara juga perlu diselidiki. Tak mungkin staf MA bermain sendiri karena ia tidak berwenang mengurusi perkara.