Pemerintah semestinya menempatkan masalah daging dalam daftar prioritas yang harus segera diselesaikan. Sudah berbulan-bulan ini harga daging sapi jauh di atas harga normal. Sejumlah kalangan memperkirakan tingginya harga daging ini akan berlanjut hingga setelah hari raya Idul Adha, yang jatuh pada pertengahan Oktober. Mereka juga meyakini bahwa harga daging kualitas super masih tetap di atas harga ancangan pemerintah, sebesar Rp 80 ribu per kilogram.
Masalah pokok penyebab tingginya harga ini adalah tingkat konsumsi daging yang jauh di atas pasokan daging dari dalam negeri. Pemerintah sebetulnya sudah mengambil jalan pintas dengan mengimpor daging sapi dari Australia. Langkah ini tidak pernah diambil sebelumnya. Selama ini, impor daging sapi dilakukan dalam bentuk sapi bakalan atau sapi siap potong. Sayangnya, kebijakan yang dilaksanakan oleh Bulog ini tak direspons dengan baik oleh konsumen. Mereka enggan membeli daging sapi impor.
Situasi saat ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak mampu menanggapi perubahan kondisi perdagangan sapi di dalam negeri. Dalam cetak biru Kementerian Pertanian, tahun depan semestinya Indonesia sudah mampu mencapai swasembada sapi. Jumlah sapi di dalam negeri memang terus meningkat, sehingga kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan menipis. Dampaknya, kebutuhan impor menurun. Pada 2010, gap tersebut masih 30 persen, dan pada tahun lalu sudah turun ke angka 17-20 persen.
Di atas kertas, target pemerintah sepertinya akan tercapai. Namun justru kondisi sebaliknya yang terjadi. Jumlah sapi memang meningkat, tapi komposisinya jauh dari ideal. Mayoritas atau 96 persen sapi ada di petani. Hanya 4 persen atau sekitar 600 ribu sapi yang ada di peternakan besar. Secara riil, sapi di peternakan inilah yang bisa didayagunakan pemerintah untuk operasi pasar jika terjadi kelangkaan (shortage) daging.
Komposisi yang tidak ideal itulah yang mengakibatkan kelangkaan saat ini tidak bisa segera diatasi. Lambatnya impor reguler akibat telatnya perizinan dari pemerintah telah membuat harga melambung. Pemerintah tak bisa langsung melakukan operasi pasar karena stok kebanyakan ada di tangan petani. Keterlambatan operasi pasar ini kemudian hendak ditutup dengan impor daging sapi potong langsung. Ternyata penyakit kelangkaan ini sudah terlampau parah.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah perlu segera mengambil kebijakan untuk memutus rantai masalah perdagingan ini. Salah satunya adalah dengan merancang sebuah kebijakan di bidang peternakan sapi skala besar. Malaysia berhasil memanfaatkan perkebunan sawit untuk membuat peternakan sapi skala besar, sehingga mampu memenuhi kebutuhan daging. Indonesia bisa mencontoh apa yang dilakukan Malaysia karena kita juga memiliki banyak perkebunan sawit.
Kebijakan tersebut harus dirancang dengan melibatkan banyak pihak: perkebunan pemerintah dan swasta untuk lokasi peternakan, Kementerian Pertanian untuk masalah penyediaan bibit atau sapi bakalan, Kementerian Keuangan untuk pemberian insentif bagi mereka yang bersedia melaksanakan kebijakan ini, serta Kementerian Perdagangan untuk mengatasi masalah kelangkaan jangka pendek. Selain itu, pemerintah perlu membangun pelabuhan dan transportasi yang murah.
Kebijakan ini pasti akan memakan biaya besar. Namun, tanpa terobosan, sulit bagi Indonesia untuk bisa keluar dari masalah perdagingan ini.