Pemberian Bintang Mahaputra oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum lama ini mengundang tanda tanya. Maklum, peraihnya didominasi orang dekat Presiden. Dari sebelas penerima Bintang Mahaputra Adipradana, delapan orang berasal dari Kabinet Indonesia Bersatu II. Kesan obral penghargaan sulit dihindarkan.
Delapan menteri penerima tanda kehormatan itu adalah Hatta Rajasa, Sudi Silalahi, Purnomo Yusgiantoro, Jero Wacik, Djoko Kirmanto, M. Nuh, Suryadharma Ali, dan Mari Elka Pangestu. Pertanyaannya, apa jasa luar biasa mereka? Hampir semua tak memiliki jasa yang hebat. M. Nuh, yang memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, justru kewalahan mengelola ujian nasional. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik pun dipertanyakan kepemimpinannya setelah muncul skandal suap di sektor minyak dan gas.
Menjelang akhir masa jabatan, Presiden Yudhoyono boleh saja mengapresiasi orang-orang yang loyal membantunya. Tanpa menteri yang bekerja penuh dedikasi, pemerintahan Yudhoyono dipastikan tak berjalan mulus. Tapi ungkapan terima kasih Presiden secara pribadi tak boleh campur aduk dengan penghargaan negara.
Penghargaan itu jelas diberikan Presiden sebagai kepala negara, bukan sebagai kepala pemerintahan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, tanda kehormatan Bintang Mahaputra hanya diberikan negara kepada orang yang memiliki jasa luar biasa. Kalaupun ada menteri yang memenuhi kriteria ini, Presiden Yudhoyono tak perlu buru-buru memberinya bintang. Lebih elok bila yang menyematkan tanda kehormatan itu adalah presiden setelah Yudhoyono.
Pemberian penghargaan juga bukan lomba tahunan. Dalam lomba, memang harus ada juara, terlepas dari kualitas peserta lomba itu. Sebaliknya, dalam memberi penghargaan, negara tak punya kewajiban mencetak juara tahunan. Jadi, bukanlah aib bila pada tahun tertentu Presiden mengumumkan tak ada orang yang layak mendapat penghargaan.
Jika saban tahun dipaksakan harus ada pembagian bintang tanda jasa atau tanda kehormatan, justru bisa terjadi inflasi penghargaan. Tanda jasa dan kehormatan dari negara bisa dipandang sebelah mata karena semakin lama nilainya kian tak berharga.
Perlu diingat pula, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 menyebutkan asas kehati-hatian, obyektivitas, serta keterbukaan dalam pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Dengan kata lain, Presiden harus berhati-hati agar tak memberikan penghargaan kepada orang yang tak berhak. Untuk meminimalkan kekeliruan, penjaringan dan penentuan calon penerima penghargaan mesti terbuka atas masukan banyak kalangan.
Presiden bisa saja berkilah hanya mengesahkan rekomendasi Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Urusan teknis meneliti, membahas, dan memverifikasi usul calon penerima penghargaan adalah tugas Dewan itu. Tapi, ketika menteri kabinet mendominasi calon penerima penghargaan, publik tetap ragu akan obyektivitas Dewan Gelar, sekaligus mempertanyakan keputusan Presiden.