Putusan bebas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan untuk Wali Kota Medan non-aktif, Rahudman Harahap, membuat lidah kita kelu. Putusan bebas ini bukan yang pertama. Setidaknya sudah 72 terdakwa dibebaskan Pengadilan Tipikor. Kondisi ini membuat kita khawatir upaya pemberantasan korupsi akan menghadapi tembok tebal justru di pengadilan yang dibentuk khusus untuk menangani kasus-kasus korupsi.
Rahudman didakwa menilap anggaran Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintah Desa pada 2005 sebesar Rp 1,5 miliar ketika masih menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan. Ia lolos dari pengadilan, tapi Bendahara Umum Kabupaten Tapanuli Selatan Amrin Tambunan bernasib sebaliknya. Ia justru dinyatakan bersalah dan divonis 3 tahun penjara dalam kasus sama.
Keanehan itu layak disoroti. Komisi Yudisial, yang dibentuk untuk mengawasi kinerja hakim, harus berinisiatif untuk menguji putusan atas Rahudman. Dalam kasus ini, terdengar selentingan bahwa ada uang sogok ke majelis hakim. Bahkan, sebelum sidang dimulai, banyak kalangan yang yakin Rahudman akan bebas.
Setelah kasus Medan ini, tampaknya diperlukan tindakan yang lebih tegas bagi para hakim yang terindikasi menerima uang sogok. Sungguh sulit diterima akal sehat para hakim di Pengadilan Tipikor ternyata malah terseret dalam kasus korupsi. Padahal pengadilan ini dibentuk justru karena ketidakpercayaan terhadap pengadilan biasa.
Bukan sekadar terindikasi, sejumlah hakim bahkan tertangkap tangan menerima suap dari para terdakwa. Kasus terakhir adalah penangkapan hakim Pengadilan Tipikor Bandung, Setyabudi Tejocahyono, dalam kasus suap yang melibatkan Sekretaris Kota Bandung Edi Siswadi dan Wali Kota Dada Rosada.
Bukan tidak mungkin perilaku para hakim Tipikor itu justru memunculkan ketidakpercayaan yang baru. Serentetan kasus ini sangat memprihatinkan. Pengadilan Tipikor, sebagai tombak kembar pemberantasan korupsi-bersama Komisi Pemberantasan Korupsi-ternyata tak sekokoh yang diharapkan.
Dua hal perlu dilakukan. Pertama, proses seleksi hakim harus diawasi secara ketat. Rekam jejak mereka harus ditilik dengan cermat. Harus diakui bahwa selama ini Mahkamah Agung masih kurang ketat dalam melakukan seleksi untuk mendapatkan hakim ad hoc di pengadilan khusus itu. Dalam beberapa kali seleksi, sejumlah calon dengan integritas meragukan bisa lolos.
Tertangkapnya sejumlah hakim Tipikor jelas menunjukkan bahwa ada yang salah dalam proses seleksinya. Karena itu, Mahkamah Agung perlu mendengarkan pendapat pihak lain soal seleksi tersebut. Tahun ini, dalam kajian sejumlah lembaga antikorupsi terhadap 40 calon hakim ad hoc 2013, sebanyak 45 persen diduga bermasalah.Hal kedua yang wajib dilakukan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial adalah mengawasi persidangan kasus-kasus korupsi. Tugas ini jelas tidak mudah. Tak terbayangkan beratnya pekerjaan itu jika Pengadilan Tipikor sudah ada di setiap kota atau kabupaten seperti diamanatkan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Tanpa tindakan keras terhadap hakim bermasalah, misalnya pemecatan, sulit mengharapkan pengadilan ini mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat.