Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Cina

Oleh

image-gnews
Iklan
7 NOPEMBER 1978, Harian Rakyat Peking memuat sepucuk surat. Penulisnya seorang prajurit, bernama Kao Chen-tung. Isinya mengejutkan. Surat itu mengandung tuntutan ke arah suatu sistem politik yang lebih demokratis. Pak Mao mungkin merasakan gempa sejenak dalam kuburnya. "Kenapa massa rakyat tak dapat memilih para pejabat yang akan mengatur mereka, dan akan mencerminkan kepentingan serta tuntutan mereka?", si surat bertanya. Pagi hari itu di RRC pertanyaan tadi seakan menodong dan harapan yang dikemukakan seolah menggampar. Sebab Kao Chen-tung menulis: "Pemilihan akan memberi rakyat rasa yang lebih kuat sebagai yang berdaulat." Di RRC, di mana para pemimpin sebagian besar ditentukan dari atas, Pak Mao mungkin merasa listrik menyelomot di musoleumnya. Tapi di dua pojok jalan di Peking, dan mungkin di ruang-ruang tersembunyi para inteligensia, bahkan di rapat tertutup Partai sendiri barangkali, sejarah Cina modern sedang dicoba tulis ulang. Atau akan diberangkatkan lagi -- dengan suasana lain. Bayangkan. Seorang prajurit Tentara Pembebasan Rakyat menulis surat macam itu! Mungkin ia sebuah nama palsu, tapi toh koran resmi Partai sendiri yang memasangnya .... Pak Mao memang sudah mati. Tapi agaknya terlampau cepat untuk memperkirakan, bahwa demokratisasi akan segera terorak dari sebuah sistem kediktaturan seperti di RRC. Para pemuda, ribuan jumlahnya, yang beberapa hari yang lalu berkumpul di lapangan Tienanmen, agaknya tahu untuk berhati-hati. Banyak di antara mereka yang mungkin kecewa, bahwa pemegang kekuasaan, termasuk Teng Hsiao-p'ing si bekas musuh Mao itu, tidak mau berangkat lebih jauh. Kediktaturan proletariat akan terus. Tapi jika para pemuda itu membelot juga, apakah yang akan terjadi? Sejarah RRC sendiri memberikan cukup contoh. Di musim semi 1957 Mao mengumandangkan slogan "Biarkan Seratus Bunga Merekah dan Seratus Aliran Fikiran Berbantah!" Semboyan ini sendiri berasal dari Tiongkok kuno, guna mengilhami perdebatan bebas agar fikiran berkembang maju. Ketika dihidupkan kembali oleh Mao, semangat itu pun disambut hangat oleh para cendekiawan Cina. Suasana demokratis pun tiba-tiba hadir. Partai Komunis misalnya dengan tandas dikecam oleh Menteri Kebudayaan Chang Hsi-jo (ia bukan seorang komunis, tapi didudukkan di atas) sebagai sebuah partai yang anggotanya hanya berpegang kepada dogma. Para pejabat dilabrak sebagai congkak, munafik dan tak mengenal "dukacita massa rakyat. " Tiga minggu semburan semacam itu dibiarkan. Tiba-tiba, segalanya distop. Mereka yang sudah terlanjur ngomong ditangkap. Beberapa penulis kiri sendiri disingkirkan. Agaknya sastrawan revolusioner Lu Hsun benar: "Sebelum kemenangan revolusi, kaum revolusioner menyetujui para penulis berbuat itu, tapi sejak saat revolusi berhasil, politisi mulai berbuat terhadap para penulis dengan cara yang dipergunakan para penindas sebelumnya dan jika para penulis itu terus saja menyuarakan ketidakpuasan, . . . mereka pun ditindas." Yang mengherankan, dan menakjubkan, ialah bahwa suara itu toh terus saja. Semacam estafet. Revolusi Kebudayaan sepuluh tahun kemudian cukup bisa menghimbau anak-anak muda bukan hanya karena mereka diagungkan dan ditantang Mao untuk jadi pejuang. Tapi juga karena kepada mereka disajikan apa yang disebut "demokrasi yang diperluas." Mereka boleh memaki-maki, menangkap dan menghukum tokoh-tokoh yang berkuasa. Meskipun korban mereka hanya terbatas kepada para pemimpin musuh Mao dalam Partai, "demokrasi" buat anak-anak muda selama Revolusi Kebudayaan itu cukup membuktikan kehausan untuk ikut bersuara dari bawah adalah kehausan yang tak habis-habisnya. Apakah sebabnya? Adakah para pemuda terlalu banyak membawa buku Barat, yang susah didapat? Ataukah karena mereka muda, dan hidup dengan pengalaman tertekan yang pahit? Siapa tahu mereka tak mengerti adakah mereka inginkan suatu demokrasi liberal. Yang jelas: sesuatu yang tak menghimpit seperti kemarin.
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Anies Baswedan di Ijtima Ulama Sebut Tak Kompromi dengan Komunisme

18 November 2023

Calon presiden nomor urut satu Anies Baswedan memberikan sambutan saat deklarasi relawan Garda Matahari di Jakarta, Jumat 17 November 2023. Relawan Garda Matahari mendeklarasikan dukungan terhadap calon presiden dan wakil presiden dari koalisi perubahan Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar pada Pilpres 2024. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Anies Baswedan di Ijtima Ulama Sebut Tak Kompromi dengan Komunisme

Anies Baswedan mengatakan, pihaknya memahami betul bahwa Indonesia adalah sebuah negeri yang berdasar Pancasila.


Situasi Politik Jakarta Menjelang Peristiwa G30S 1965, PKI dan TNI Bersitegang Soal Angkatan Kelima

28 September 2023

Patung 7 pahlawan di Monumen Lubang Buaya. Shutterstock
Situasi Politik Jakarta Menjelang Peristiwa G30S 1965, PKI dan TNI Bersitegang Soal Angkatan Kelima

Menjelang meletusnya G30S 1965, situasi politik sangat tegang. PKI dan TNI bersitegang soal angkatan kelima.


Hari Ini 205 Tahun Kelahiran Karl Marx, Jejak Filsuf yang Bolak-balik Dideportasi

5 Mei 2023

Monumen Karl Marx di London, Inggris Dirusak. [SKY NEWS]
Hari Ini 205 Tahun Kelahiran Karl Marx, Jejak Filsuf yang Bolak-balik Dideportasi

Pemikiran Karl Marx dituangkan pada sejumlah buku, dua di antaranya adalah Das Kapital dan Communist Manifesto.


Mengenang Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia Pemikirannya Diserap Sukarno - Hatta

26 Februari 2023

Tan Malaka. ANTARA/Arief Priyono
Mengenang Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia Pemikirannya Diserap Sukarno - Hatta

Tan Malaka salah satu pahlawan nasional, dengan banyak nama. Pemikirannya tentang konsep bangsa Indonesia diserap Sukarno - Hatta.


Anwar Ibrahim Jamin Tak Akui LGBT, Sekularisme, Komunisme di Pemerintahannya

7 Januari 2023

Perdana Menteri baru Malaysia Anwar Ibrahim melambai kepada fotografer saat ia tiba di Istana Nasional di Kuala Lumpur, Malaysia, 24 November 2022. Anwar resmi dilantik sebagai perdana menteri ke-10 Malaysia. Fazry Ismail/Pool via REUTERS
Anwar Ibrahim Jamin Tak Akui LGBT, Sekularisme, Komunisme di Pemerintahannya

PM Malaysia Anwar Ibrahim menegaskan tak akan menerima LGBT, sekularisme, dan komunisme di pemerintahannya. Ia mengatakan telah difitnah.


Pemerintah Sebut Pasal 188 RKUHP Tak Akan Cederai Kebebasan Berpendapat

29 November 2022

Polisi membubarkan aktivis yang membentangkan spanduk saat aksi jalan pagi bersama tolak RKUHP dalam Car Free Day di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu, 27 Noveber 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Pemerintah Sebut Pasal 188 RKUHP Tak Akan Cederai Kebebasan Berpendapat

Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries mengatakan pasal 188 tidak akan mencederai kebebasan berpikir dan berpendapat.


Perlu Tafsir Ketat Soal Larangan Penyebaran Paham yang Bertentangan dengan Pancasila di RKUHP

29 November 2022

Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Nasdem Taufik Basari ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 4 November 2019. TEMPO/Putri.
Perlu Tafsir Ketat Soal Larangan Penyebaran Paham yang Bertentangan dengan Pancasila di RKUHP

Anggota DPR Komisi Hukum Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari, menilai perlu ada tafsir ketat terhadap pasal 188 RKUHP.


5 Situasi Menjelang G30S, Pertentangan TNI dan PKI Makin Memanas

26 September 2022

Diorama penyiksaan Pahlawan Revolusi oleh anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) di Kompleks Monumen Pancasila Sakti, Jakarta, 29 September 2015. ANTARA FOTO
5 Situasi Menjelang G30S, Pertentangan TNI dan PKI Makin Memanas

G30S menjadi salah satu peristiwa kelam perjalanan bangsa ini. Berikut situasi-situasi menjadi penyebab peristiwa itu, termasuk dampak setelah G30S.


Draf RKUHP: Ingin Ganti atau Tiadakan Pancasila Diancam 5 Tahun Penjara

11 Juli 2022

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) berbincang dengan Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir (kanan) dan Pangeran Khairul Saleh (kedua kanan) usai menyerahkan draf RKUHP dan RUU tentang Permasyarakatan yang telah disempurnakan dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 6 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Draf RKUHP: Ingin Ganti atau Tiadakan Pancasila Diancam 5 Tahun Penjara

RKUHP juga menyebut penyebaran ideologi komunisme atau marxisme-leninisme juga diancam penjara, kecuali belajar untuk kepentingan ilmu pengetahuan.


Sejak Kapan Hari Lahir Pancasila Jadi Hari Libur Nasional?

1 Juni 2022

Puluhan warga membawa poster bergambar Pancasila dan Bendera Merah Putih bersiap mengikuti kirab memperingati hari lahirnya Pancasila di Desa Wonorejo, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, 1 Juni 2017. Kirab Pancasila dilaksanakan untuk menumbuhkan rasa nasionalsme dan mengajarkan nilai-nilai Pancasila. TEMPO/Pius Erlangga
Sejak Kapan Hari Lahir Pancasila Jadi Hari Libur Nasional?

Pemerintah belakangan menetapkan Hari Lahir Pancasila sebagai hari libur nasional. Sejak kapan hal tersebut berlaku?