Boleh saja Belanda meminta maaf atas peristiwa pembantaian pada masa Perang Kemerdekaan. Rasa penyesalan ini patut dihargai. Namun masalahnya bukan sekadar soal urusan kemanusiaan, tapi juga sikap politik. Belanda sejauh ini belum meminta maaf atas seluruh kejadian buruk pada masa penjajahan dan belum mengakui Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Permintaan maaf itu akan disampaikan oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia pada 12 September nanti. Ia berencana mengundang 10 janda korban pembantaian oleh tentara Belanda di bawah komando Kapten Raymond Pierre Paul Westerling pada 1946-1947. Mereka akan mendapat santunan 20 ribu euro atau sekitar Rp 300 juta per orang.
Langkah tersebut amat terlambat, sehingga banyak keluarga korban sudah keburu meninggal. Diyakini, pembantaian oleh pasukan Westerling menyebabkan puluhan ribu orang tewas. Belanda juga terkesan menanggapi persoalan satu per satu dan tak berupaya menuntaskan seluruh pelanggaran kemanusiaan. Dua tahun lalu, Belanda meminta maaf pula atas peristiwa Rawa Gede, di Karawang, Jawa Barat, pada 1947, dan memberikan santunan kepada keluarga korban.
Cara Belanda menyelesaikan persoalan seperti itu akan bertele-tele. Soalnya, banyak sekali peristiwa serupa terjadi di Tanah Air pada masa Perang Kemerdekaan. Menurut catatan para pegiat hak asasi manusia, selama kurun 1945-1949 terjadi tak kurang dari 76 kasus kejahatan perang Belanda yang berpotensi untuk dibawa ke pengadilan. Salah satunya, pembantaian di Pasar Kembang, Solo, saat agresi Belanda.
Masalah lain yang lebih mendasar, hingga saat ini Belanda tetap menganggap pembantaian itu dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap warganya. Sikap ini tertuang jelas dalam putusan pengadilan Den Haag mengenai kasus Rawa Gede. Ini berarti Belanda tetap memandang bahwa Indonesia baru merdeka pada 1949 setelah diadakan Konferensi Meja Bundar, bukan pada 1945.
Sikap politik itu amat disesalkan karena berpengaruh terhadap cara Belanda melihat berbagai peristiwa pada 1945-1949. Perlawanan para gerilyawan di banyak daerah pada kurun waktu itu hanya dianggap sebagai gerakan pemberontak, dan bukan sebuah perang untuk mempertahankan kemerdekaan. Jangan heran bila peristiwa Rawa Gede dan pembantaian Westerling pun bukan dilihat sebagai kejahatan perang, melainkan kejahatan negara atas warganya.
Pemerintah Belanda semestinya tak bersikap setengah hati bila ingin mengubah pandangan atas Indonesia. Para pemimpin dan prajurit yang gugur dalam Perang Kemerdekaan jelas kita junjung sebagai pahlawan. Aneh bila Belanda melihatnya sebagai para pengganggu ketertiban.
Tanpa perubahan pandangan politik, langkah Belanda kurang bermakna. Permintaan maaf atas peristiwa Rawa Gede dan pembantaian oleh pasukan Westerling itu hanya akan menyentuh keluarga korban, dan bukan seluruh bangsa Indonesia.