Upah layak merupakan keharusan. Tapi meminta kenaikan upah minimum di DKI Jakarta menjadi Rp 3,79 juta sulit diterima nalar. Di tengah ekonomi yang lesu, tuntutan ini bisa menjadi bumerang: dunia usaha akan sekarat dan investor pun hengkang.
Upah minimum DKI tahun ini sudah mencapai Rp 2,2 juta, naik lebih dari 40 persen dibanding tahun lalu. Jika permintaan itu dipenuhi, berarti upah buruh tahun depan melonjak 72 persen. Sulit mengakomodasi keinginan ini lantaran pertumbuhan ekonomi kita diprediksi akan merosot.
Penentuan upah buruh pun selalu didasari standar kebutuhan hidup layak (KHL). Upah buruh sekarang melebihi KHL di Jakarta sebesar Rp 1,98 juta, yang ditetapkan berdasarkan survei tahun lalu. Tahun ini, sesuai dengan survei pada Juli lalu, KHL di Ibu Kota malah turun tipis menjadi Rp 1,92 juta. Tapi angka ini diprediksi akan melonjak karena dampak kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.
Pemerintah memakai 60 komponen buat mengukur KHL, dari biaya sewa rumah, transportasi, sampai ongkos membeli deodoran dan rekreasi. Tapi para buruh tak puas. Sedikitnya ada 24 komponen tambahan yang diusulkan. Menurut mereka, hunian yang layak buat buruh bujangan adalah rumah dengan tiga ruangan. Ada kamar tidur, dapur, dan kamar mandi terpisah. Mereka juga ingin sederet "ongkos gaya hidup", seperti pulsa telepon dan kipas angin, ditanggung.
Banyaknya komponen tambahan itu justru akan mengundang antipati kalangan pengusaha. Serikat buruh semestinya menyusun usul kenaikan upah secara realistis. Misalnya, dengan berfokus pada melonjaknya harga bahan kebutuhan pokok dan transportasi menyusul kenaikan harga BBM bersubsidi. Dengan kenaikan sejumlah komponen ini saja, diperkirakan KHL akan naik, tapi tidak spektakuler.
Tuntutan yang membabi-buta juga akan membuat para investor berpikir seribu kali untuk berbisnis di negeri ini. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah banyak investor yang hengkang ke Cina atau Vietnam. Di dua negara itu, gaji buruh memang lebih rendah. Di Indonesia, upah rata-rata buruh sepatu mencapai US$ 1,03 per jam. Bandingkan dengan di Cina, yang sebesar US$ 0,91 per jam, dan di Vietnam, US$ 0,46 per jam.
Tentu saja pemerintah tak boleh mengorbankan nasib buruh demi investor. Mereka harus menemukan "ramuan" yang tepat: upah buruh naik sewajarnya dan investor tetap betah. Pemerintah juga bisa meningkatkan daya saing dengan memangkas ekonomi biaya tinggi. Cara lainnya, membantu buruh lewat penyediaan rumah susun murah dekat kawasan pabrik dan transportasi publik yang murah.
Pemerintah DKI pun sebetulnya sudah berupaya mengurangi beban buruh lewat layanan kesehatan gratis, juga bantuan pendidikan anak-anak mereka. Ikhtiar ini semestinya juga dihargai oleh kalangan buruh. Publik justru akan kurang bersimpati bila mereka terus-menerus berdemonstrasi menuntut kenaikan upah yang berlebihan.