Pemerintah semestinya bertindak luar biasa atas serentetan peristiwa tak biasa ini. Lima polisi tewas ditembak dalam empat kejadian di Jakarta dan sekitarnya sejak Juli lalu. Pengungkapan kasus ini amat mendesak agar tugas kepolisian melindungi masyarakat tak terganggu.
Korban terakhir, Ajun Inspektur Dua (Anumerta) Sukardi, ditembak di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, beberapa waktu yang lalu. Mirip dalam tiga peristiwa sebelumnya, para pelaku mengendarai sepeda motor. Dan seperti kejadian yang lain pula, hingga kini si penembak, apalagi motifnya, belum terungkap.
Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo memang berjanji membekuk penembak Sukardi. Janji yang sama pernah diungkapkan ketika empat polisi tewas dalam serentetan kejadian di selatan Jakarta: Cireundeu, Ciputat, dan Pondok Aren. Namun, sampai sekarang, polisi baru bisa mengidentifikasi kelompok teroris yang diduga menebar teror itu.
Polisi menyebutkan ada banyak kesamaan modus penembakan di selatan Jakarta itu. Misalnya, penembakan dilakukan di jalan raya ketika situasi agak sepi. Pelaku diperkirakan telah lama membuntuti korban, tapi korban penembakan tampak dipilih secara acak. Selongsong peluru yang ditemukan di tiga tempat itu berukuran 9 milimeter.
Dari temuan itu, kecurigaan mengarah ke kelompok Pondok Aren. Kelompok ini pernah merampok Bank Perkreditan Rakyat di Cileunyi dan menjalani latihan menembak di Gunung Sawal, Jawa Barat. Tapi tudingan terhadap kelompok teroris jaringan Aceh itu mesti disikapi dengan hati-hati. Temuan terbaru selongsong peluru dalam penembakan Sukardi yang berukuran 4,5 milimeter menunjukkan bahwa dugaan polisi terhadap pelaku bisa keliru. Identifikasi pelaku kasus terakhir ini semestinya tidak terlalu sulit karena kepolisian bisa memanfaatkan rekaman closed-circuit television (CCTV) di gedung KPK dan gedung-gedung lain di sekitar lokasi kejadian.
Polisi juga bisa membuka berbagai kemungkinan lain. Fakta bahwa Sukardi bekerja sampingan mengawal truk-truk proyek pembangunan Rasuna Tower seharusnya menjadi pertimbangan. Boleh jadi, ada pemain lain di bidang jasa pengawalan yang tersingkir. Mungkin pula ada pihak lain di luar teroris yang dendam terhadap korps kepolisian. Jika ada bukti yang cukup, polisi tak perlu ragu mengungkap dan menangkap siapa pun pelakunya.
Boleh saja kepolisian mencegah jatuhnya korban lagi dengan menyeru anggotanya agar bertugas secara berkelompok dan berbaju antipeluru. Mereka juga dianjurkan tak menggunakan seragam ketika berangkat ke kantor. Tapi tindakan yang paling penting dan ditunggu masyarakat tentu adalah menangkap para pelaku penembakan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semestinya tidak membiarkan kepolisian, yang lamban membongkar serentetan kasus itu. Semakin lama sederet kasus itu terbongkar, semakin hancur kredibilitas korps kepolisian. Bagaimana kepolisian bisa melindungi masyarakat bila mereka tidak mampu menjaga anggotanya sendiri? Krisis kepolisian ini harus segera diakhiri agar rasa aman di masyarakat juga pulih kembali.