Jakarta siap-siap kebanjiran mobil murah. Menteri Perindustrian M.S. Hidayat baru saja mengumumkan di arena pameran otomotif Indonesia bahwa pemerintah akan menerbitkan kebijakan low cost green car atau mobil murah ramah lingkungan. Peraturan Menteri Perindustrian sejak Mei lalu telah menerbitkan mobil rakyat yang digerakkan dengan biofuel atau tenaga listrik ini.
Iming-iming mobil murah itu sejatinya sudah terpajang dalam arena pameran otomotif Indonesia. Masyarakat akan menikmati mobil mini produksi perusahaan otomotif Jepang dan India dengan harga sekitar Rp 75 juta hingga Rp 90 juta itu. Menteri Hidayat memastikan bahwa para produsen akan mendistribusikan mobil murah ini tak hanya terfokus di Jakarta, tapi juga menyebar ke daerah lain.
Pernyataan Menteri Hidayat itu merespons kekhawatiran Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang menilai kebijakan mobil murah ini akan menambah masalah baru bagi Ibu Kota, yang sudah didera kemacetan. Kini, dengan harga mobil yang tidak murah saja, warga Jakarta lebih memilih menggunakan mobil pribadi ketimbang sarana transportasi umum.
Masuknya mobil-mobil murah ini tampaknya tak bisa dihindari. Hal ini sejalan dengan gagasan pasar bebas negara ASEAN yang akan diberlakukan pada 2015. Jika Indonesia tidak memiliki basis produksi mobil jenis ini, dapat dipastikan pada 2015 nanti, impor mobil murah akan membanjiri Tanah Air. Bukan hanya mobil Jepang dan India, mobil murah dari Thailand dan Malaysia juga siap bertempur di pasar Indonesia.
Kebijakan itu bisa menjadi berkah sekaligus bencana. Berkahnya, modal asing dari produsen mobil akan masuk, dengan nilai investasi mencapai US$ 3,5 miliar atau hampir Rp 40 triliun. Hanya, sisi buruknya juga harus dicarikan solusi. Membanjirnya mobil murah ini akan menambah kemacetan yang kian menggila di Ibu Kota. Gubernur Jokowi pun dituntut punya strategi baru dalam memerangi problem laten ini.
Boleh saja kebijakan pelat nomor ganjil-genap dan pajak khusus segera diberlakukan. Tapi kebijakan manual ini banyak kelemahannya, di antaranya jumlah petugas terbatas serta rawan penyelewengan. Maka kini saatnya Jakarta memberlakukan electronic road pricing, atau retribusi lalu lintas elektronik, di ruas jalan tertentu. Sistem untuk membatasi kendaraan melalui jalan berbayar secara elektronik ini sudah diterapkan di Singapura pada 1998, London pada 2003, dan yang mutakhir di Stockholm pada 2007.
Hasilnya ampuh. Di London, juga Singapura, tingkat kemacetan menurun, polusi berkurang, ketersediaan bus-bus umum semakin terjaga, dan angka kecelakaan merosot. Hasilnya bisa menjadi sumber pendapatan untuk perbaikan pelayanan angkutan umum-yang sangat dibutuhkan Jakarta. Di Stockholm, publik merasa nyaman lantaran antrean di pusat kota dan daerah-daerah sekitarnya berkurang hingga 50 persen. Emisi kendaraan bermotor di pusat kota juga drop secara signifikan.
Tanpa strategi jitu ini, lalu lintas Jakarta dipastikan mampet pada tahun depan. Entah berapa puluh triliun rupiah lagi kerugian yang kudu kita tanggung karena terbenam hiruk-pikuk jalanan. Jadi, tunggu apa lagi Pak Jokowi?