Menjamurnya mal di Ibu Kota lebih banyak memberi mudarat ketimbang manfaat. Tidak hanya menyebabkan lalu lintas semakin macet, pusat belanja juga cenderung mematikan pasar tradisional. Itu sebabnya, rencana Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi menyetop pemberian izin pembangunan mal sungguh tepat.
Jumlah pusat belanja modern yang sebanyak 173 lebih dari cukup untuk Jakarta yang seluas 660 kilometer persegi ini. Sementara keperluan lain yang lebih penting, seperti ruang terbuka hijau dan ruang publik, belum terpenuhi. Rumah susun yang murah pun selama ini sulit dibangun karena minimnya lahan.
Di era Gubernur Fauzi Bowo, moratorium mal sering didengungkan, tapi rupanya sebatas wacana. Supermarket baru tetap bermunculan dan semakin membuat sumpek Jakarta. Tiadanya sarana transportasi umum yang layak membuat orang ke mana-mana selalu menggunakan kendaraan pribadi, termasuk pergi ke mal-hal yang jelas semakin memperparah kemacetan lalu lintas.
Kini Jokowi diharapkan lebih tegas. Kalaupun tidak bisa menyetop seratus persen, pemberian izin mal harus sangat selektif. Misalnya di kawasan tertentu yang masih sepi, seperti di Jakarta Timur, atau pembangunan mal yang dipadukan dengan stasiun angkutan umum massal. Apalagi Jokowi memiliki misi lain. Tak hanya mencegah semakin parahnya kemacetan, Jokowi juga ingin menata pasar tradisional, yang selama ini kalah pamor dibanding mal. Ia juga menganjurkan agar warga Jakarta sering berbelanja ke pasar, bukan ke mal.
Pemihakan seperti itu bukan hal baru, setidaknya tecermin dalam kebijakan di atas kertas. Lewat Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Pasar Tradisional dan Pusat Perbelanjaan, pemerintah berupaya melindungi pasar tradisional dari serangan pusat belanja modern. Setahun kemudian, Menteri Perdagangan juga mengeluarkan aturan yang lebih rinci. Di situ diatur antara lain kewajiban mal atau supermarket bermitra dengan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Masalahnya, aturan itu tak ditaati sepenuhnya. Hanya sedikit pusat belanja modern yang bersedia menampung pengusaha kecil, apalagi para pedagang kaki lima. Pembangunan mal baru pun tidak mempertimbangkan keberadaan pasar tradisional di sekitarnya. Bahkan banyak pusat belanja yang didirikan berdampingan dengan pasar.
Pejabat daerah cenderung bersikap dan menganggap pemberian izin pendirian mal lebih banyak menyumbang pendapatan daerah. Padahal retribusi pasar jauh lebih besar bila dikelola dengan baik. Jokowi telah membuktikan hal itu ketika menjadi Wali Kota Solo.
Jangan heran bila kini pun Jokowi lebih memihak pasar tradisional ketimbang mal. Pemihakan ini perlu didukung karena mampu menyerap pedagang kaki lima di jalanan-fungsi yang tidak bisa dijalankan oleh mal. Padahal para pedagang di jalanan jelas merupakan sumber kesemrawutan sekaligus kemacetan lalu lintas.