Melelang jabatan direktur jenderal pemasyarakatan merupakan langkah maju, tapi belum cukup. Harus ada terobosan lain untuk membenahi karut-marut penjara. Sang dirjen mesti diberi keleluasaan mengangkat dan mengawasi kepala penjara. Jika perlu, posisi ini juga dilelang demi mendapatkan kepala penjara yang berintegritas.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia harus memastikan pula dirjen yang dipilih sanggup menjalankan tugas besar itu. Hingga kini, sistem lelang meniru cara Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dalam memilih lurah telah meloloskan 10 calon yang sebagian besar berasal dari lingkup internal Kementerian Hukum. Hanya tiga orang yang berasal dari luar kementerian ini, yakni Handayono Sudradjat (pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi), Mohammad Ghazalie (staf ahli Dewan Ketahanan Nasional), dan Adrianus E. Meliala (pengajar Universitas Indonesia).
Calon internal Kementerian umumnya kalangan kepala kantor wilayah di tingkat provinsi. Mereka tentu menguasai seluk-beluk urusan narapidana. Tapi kelemahannya, para kepala kanwil ini tentu di antara mereka mungkin ada yang bagus-sebetulnya juga ikut bertanggung jawab atas kebobrokan yang terjadi di penjara. Adapun kelemahan calon dari luar Kementerian, mereka perlu waktu untuk memahami persoalan.
Itu sebabnya, panitia seleksi yang dipimpin Wakil Menteri Hukum Denny Indrayana mesti berhati-hati memilih dirjen pemasyarakatan. Penting sekali mencari calon yang mumpuni dan berintegritas tanpa harus melihat apakah ia berasal dari luar atau lingkup internal kementerian. Kriteria lain, sang calon tentu harus memiliki terobosan untuk menata penjara dan sanggup melaksanakannya.
Kondisi lembaga pemasyarakatan yang kini amburadul jelas menanti pembenahan. Sederet kasus menunjukkan hal itu: banyaknya narapidana yang kabur, munculnya pabrik narkoba, penyelundupan narkotik, dan penyuapan terhadap sipir. Sudah bukan rahasia lagi para narapidana bisa "membeli" segala fasilitas atau kelonggaran di penjara.
Minimnya gaji petugas penjara merupakan salah satu penyebab. Dengan gaji sebesar Rp 1,3 juta hingga Rp 5 juta per bulan, mereka memang rawan disuap. Menaikkan gaji mereka hingga ke taraf layak tentu harus dilakukan. Tapi, dalam banyak kasus, kenaikan gaji bukan jawaban tunggal. Perbandingan jumlah sipir dengan narapidana yang jomplang, 1 : 55, juga harus dicarikan solusi. Para sipir pun perlu diawasi ketat untuk mencegah penyelewengan.
Kelemahan lain, dirjen pemasyarakatan selama ini tidak memiliki garis komando langsung ke penjara. Setiap lembaga pemasyarakatan menginduk ke kantor wilayah. Kantor wilayah bertanggung jawab terhadap menteri. Organisasi yang berbelit-belit ini justru menyebabkan lemahnya pengawasan penjara-masalah yang pernah dikeluhkan Patrialis Akbar saat menjadi Menteri Hukum.
Tanpa mengubah mekanisme di Kementerian, sebagus apa pun dirjen pemasyarakatan yang terpilih, ia akan sulit memperbaiki keadaan penjara.