Sudah selayaknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan teguran tertulis kepada Televisi Republik Indonesia. Sebagai televisi publik, TVRI memang tak sepantasnya menyiarkan konvensi Partai Demokrat lebih dari dua jam pada Ahad pekan lalu. Stasiun televisi yang dibiayai anggaran negara itu terang-terangan melanggar asas netralitas dan independensi.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dengan jelas menyebutkan bahwa lembaga penyiaran publik seharusnya independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Selain memberikan perlakuan istimewa dengan memberikan jam siar yang sangat panjang, siaran tunda tersebut diduga mengandung motif politik petinggi TVRI.
Namun KPI tak boleh berhenti hanya pada TVRI. Sejumlah stasiun televisi swasta juga melakukan pelanggaran serupa dengan menyiarkan program atau iklan partai politik seperti tanpa batas. Waktu yang digunakan sering sangat panjang dan berulang kali. Meskipun tidak didanai anggaran negara, stasiun televisi swasta itu menggunakan ranah publik, yakni frekuensi siaran.
Data Komisi Penyiaran menunjukkan, sepanjang Oktober-November 2012, Metro TV telah 43 kali menyiarkan iklan Partai NasDem. Komisi juga menemukan sebelas pemberitaan tentang Hanura di RCTI, Global TV, dan MNC TV. Sedangkan TV One sepuluh kali memberitakan Aburizal Bakrie. Ketua Partai Golkar itu juga muncul dalam iklan yang disiarkan 143 kali sepanjang April 2013.
Hal itu dimungkinkan karena banyak stasiun televisi yang dimiliki pengusaha yang juga pemimpin partai. Aburizal menguasai ANTV dan TV One. Ketua Umum NasDem Surya Paloh memiliki Metro TV. Calon wakil presiden Partai Hanura, Hary Tanoesoedibjo, mempunyai tiga stasiun TV sekaligus, yakni RCTI, MNC TV, dan Global TV.
Dalam laporan akhir tahun 2012, KPI Pusat menerima 43.470 pengaduan publik tentang isi siaran pada tahun lalu. Jumlah itu merupakan yang terbesar sejak KPI berdiri pada 2002. Tahun ini, diperkirakan jumlahnya bakal lebih besar. Tahun lalu, Komisi juga menjatuhkan 107 sanksi, nyaris naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Celakanya, sanksi KPI itu ternyata hanya dianggap angin lalu oleh para politikus pemilik stasiun TV ini. Mereka tak terlihat berupaya mengurangi frekuensi siaran atau iklan politik mereka. Sangat disayangkan bahwa KPI bak macan ompong karena memang tidak dibekali kewenangan menghukum para politikus yang mengangkangi stasiun televisinya untuk kepentingan pribadi.
Mengharapkan peran KPI memang seperti menggantang asap. Kewenangan KPI diamputasi ketika industriawan televisi memenangi perang di Mahkamah Konstitusi pada 2008. Padahal, pada awalnya, kita berharap KPI bisa memiliki kekuatan, setidaknya seperti yang dimiliki Dewan Pers.
Dalam situasi seperti itu, pemerintah atau DPR semestinya bisa mengajukan revisi atas Rancangan UU Penyiaran demi kepentingan publik. Partai Demokrat dan partai-partai lain yang tak punya stasiun televisi bisa menggagas kemungkinan mengajukan revisi tersebut. ***