Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencalonkan Komisaris Jenderal Sutarman sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia menimbulkan pertanyaan. Meski sejumlah politikus di Dewan Perwakilan Rakyat menilai Sutarman merupakan figur tepat untuk posisi ini, rekam jejaknya kurang meyakinkan.
Orang tidak ragu akan pengalaman Sutarman yang lengkap. Ia pernah menjadi kepala kepolisian daerah di tiga wilayah berbeda: Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Jakarta. Kini ia menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Tapi justru di posisi yang terakhir inilah dipertanyakan kemampuannya-mungkin lebih tepat kemauannya-membongkar kasus besar yang menjadi perhatian publik.
Lihat saja, misalnya, kasus korupsi proyek pabrik vaksin flu burung yang terbengkalai. Hingga sekarang perkara ini belum dibawa ke pengadilan. Padahal kasus tersebut tidak sepele. Sejumlah pejabat Kementerian Kesehatan dan pimpinan Biofarma disebut-sebut merekayasa nilai proyek sebesar Rp 2,25 triliun itu.
Pada awal 2012, Badan Pemeriksa Keuangan sudah mengaudit proyek itu dan menemukan kerugian negara sampai Rp 600 miliar. BPK juga mengantongi petunjuk keterlibatan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin sampai sejumlah pejabat penting. Tapi sampai kini kepolisian tak melaporkan perkembangan penyidikan kasus tersebut kepada publik.
Kasus lain, korupsi proyek pengadaan pelat nomor kendaraan bermotor bernasib sama. Kasus ini mencuat bersamaan dengan terbongkarnya korupsi pengadaan simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Mabes Polri pada pertengahan tahun lalu. Ditambah pengadaan surat tanda nomor kendaraan (STNK), nilai proyek ini lebih dari Rp 1 triliun.
Seolah hendak mendahului Komisi Pemberantasan Korupsi, Sutarman buru-buru memulai penyidikan kasus tersebut pada Oktober 2012. Tapi, sampai Irjen Djoko Susilo di Korlantas Polri divonis 10 tahun penjara pada awal September ini, penyidikan kasus pelat nomor dan pengadaan STNK seolah hilang tak berbekas. Inilah yang membuat orang ragu apakah Sutarman mampu memberantas korupsi di lingkup internal kepolisian.
Catatan lain yang juga perlu dijawab Sutarman adalah soal keberpihakannya yang terlalu "bersemangat" pada semangat esprit de corps. Ketika KPK berusaha menyidik kasus rasuah yang melibatkan petinggi polisi akhir tahun lalu, sejumlah perwira merancang serangan balik. Sebuah kasus kriminal lama yang melibatkan penyidik utama KPK, Komisaris Novel Baswedan, dibuka lagi. Jika benar-benar setia pada sumpahnya sebagai bayangkara, seharusnya Sutarman sejak awal mendukung KPK memerangi korupsi.
Kini DPR hampir pasti bakal menyetujui pencalonan Sutarman sebagai Kepala Polri. Sutarman hanya punya satu cara untuk menepis keraguan publik: ia harus segera menyelesaikan semua tunggakan kasus korupsi di lembaganya. Hanya dengan cara itulah khalayak bisa percaya bahwa Polri di bawah Sutarman bakal lebih baik.