Tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan barang bukti uang senilai Rp 3 miliar melengkapi bobroknya penegakan hukum di negeri ini. Jika selama ini publik sudah muak menyaksikan jual-beli hukum yang dilakukan oleh jaksa, hakim, polisi, serta anggota parlemen, penangkapan Akil menjadi gong rusaknya perilaku penegak keadilan.
Akil adalah wajah buruk hukum kita. Sejak proses pemilihannya, mantan politikus Partai Golkar ini sudah menjadi sorotan publik. Opini majalah Tempo dan Editorial Koran Tempo juga mempersoalkannya, April lalu. Rekam jejaknya, menurut beberapa lembaga swadaya masyarakat termasuk Indonesia Corruption Watch, layak diragukan. Ketika menjadi Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, ia dicurigai menerima suap berkaitan dengan pemekaran wilayah di Kalimantan Barat. Ia dituding ikut menikmati dana Rp 680 juta dari kas Kabupaten Sintang. Tuduhan ini akhirnya menguap begitu saja.
Publik tak habis mengerti mengapa dulu DPR tidak mempertimbangkan rekam jejak yang buruk itu saat memilih Akil sebagai hakim konstitusi. April lalu, masa jabatannya malah diperpanjang, kemudian terpilih menjadi Ketua MK. Obyektivitas para politikus Senayan saat itu patut dipertanyakan kembali. Kini semua sudah menjadi bubur. Kredibilitas Mahkamah Konstitusi dipertaruhkan lantaran Dewan asal-asalan memilih hakim konstitusi. Padahal hakim konstitusi punya tugas berat, seperti memutuskan sengketa pemilihan kepala daerah, pembubaran partai, hingga urusan pemakzulan presiden dan wakil presiden.
Sebenarnya bau rasuah yang melibatkan Akil dan Mahkamah Konstitusi sudah tercium sejak lama. Tiga tahun yang lalu Refly Harun, seorang pengacara, mengungkapkan adanya kesaksian Bupati Simalungun Jopinus Ramli Saragih yang mengaku pernah dimintai duit oleh Akil sebesar Rp 1 miliar. Permintaan ini berkaitan dengan sengketa pemilihan kepala daerah Simalungun yang ditangani MK. Kasus serupa menerpa hakim konstitusi lainnya, Arsyad Sanusi, yang dituduh menerima suap dari Dirwan Makhmud, calon Bupati Bengkulu Selatan. Sayang, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. saat itu tak serius menelusuri kasus ini. Kasusnya pun mandek.
Aroma rasuah di sekitar Akil rupanya kembali tercium. Kali ini Komisi Pemberantasan Korupsi menduga dia ingin mengatur pemenang dalam sengketa pemilihan bupati di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan di Lebak, Banten. KPK seharusnya tak cuma berhenti pada Akil. Ada dugaan dia tak bermain sendiri karena, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24/2003, keputusan MK bersifat kolegial.
Penangkapan Akil semestinya juga menjadi pil pahit bagi DPR, Mahkamah Agung, dan pemerintah. Ketiga lembaga tinggi negara ini harus lebih selektif memilih tiga wakil masing-masing di Mahkamah. Calon hakim harus benar-benar berkemampuan, memiliki rekam jejak yang baik, dan netral. Selama ini mereka membikin persyaratan yang terlalu longgar sehingga hakim buruk pun bisa masuk. Khalayak tak akan pernah rela bila Mahkamah yang memiliki wewenang begitu besar diisi orang-orang yang integritas dan independensinya diragukan.