Berakhirnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pemimpin negara-negara Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Nusa Dua, Bali, perlu dikawal dengan langkah-langkah konkret-agar kita tidak kehilangan momentum strategis mengoptimalkan hasil pertemuan di Nusa Dua. Sebagai tuan rumah, tentu kita berharap APEC 2013 memberi manfaat maksimal kepada peningkatan kinerja perekonomian Indonesia. Forum ini memang bukan negosiasi dagang-dan tanpa prinsip mengikat (non binding principle). Tapi justru lewat kondisi ini, kesempatan kepada pemerintah untuk mengeksplorasi aneka opsi kerja sama di regional Asia-Pasifik maupun di level global.
Pernyataan bersama menteri-menteri APEC 2013 bisa menjadi batu pijakan. Salah satu inti kesepakatan mereka adalah menyetujui rencana tahun jamak pembangunan infrastruktur dan investasi-dengan tujuan membantu perekonomian guna meningkatkan investasi. Indonesia kini berada di posisi 16 besar ekonomi dunia. Target yang digeber-dan dicita-citakan-dalam APEC yang baru usai adalah mengantar negeri kita dari posisi 16 besar ekonomi sekarang ke posisi tujuh besar ekonomi dunia pada 2030.
Di atas kertas, hitung-hitungannya demikian: besaran ekonomi kita harus bisa dikembangkan dari US$ 0,5 triliun per hari ini ke US$ 1,8 triliun untuk mencapai target di atas. Survei McKinsey juga mencatat angka ini sebagai peluang bisnis yang bisa dicapai Indonesia pada 2030. Pertanyaannya, bagaimana agar hitung-hitungan di atas tak menjadi hasil riset belaka?
Pertumbuhan berkelanjutan atau sustainable growth bisa menjadi pilihan strategi. Tentu saja, harus ditopang oleh sejumlah fondasi yang kuat. Di antaranya, kesiapan infrastruktur serta kepastian hukum dan regulasi. Dan ini harus direncanakan dengan matang dan bukan sekadar kejar tayang karena ada momentum. Ambil contoh dalam konteks ekonomi lokal: jalan tol di Bali.
Kalau tidak ada APEC, jalan tol dari bandara masuk ke Nusa Dua-yang hanya mengambil waktu enam menit-mungkin belum akan ada. Padahal jalan tol ini, selain bermanfaat buat rakyat, bisa menjadi elemen yang mengundang lebih banyak investor melihat peluang di Bali. Kalimantan dan Sumatera, dua wilayah yang kerap dilirik para investor, juga masih dibelit oleh begitu banyak kendala infrastruktur.
Kita perlu menyediakan daftar kesiapan infrastruktur (infrastructure checklist readiness) dan berani menyatakan apa-apa yang masih menjadi kendala utama infrastruktur kita. Nah, daftar kesiapan itu yang perlu dikembangkan untuk disampaikan kepada para mitra ekonomi kita di level regional maupun global. Merawat momentum pasca-APEC, apa boleh buat, membawa kita kepada masalah klasik yang boleh dikata, tidak banyak bergerak maju dalam 10 tahun terakhir: infrastruktur yang masih miskin.
Biaya US$ 35 juta, atau setara hampir Rp 365 miliar, akan terasa sepadan bila yang kita peroleh sebagai imbal balik bukan sekadar puja-puji atas keramahan "khas Indonesia". Mengubah posisi negeri kita dari "pasar utama" dunia menjadi tanah investasi yang ramah adalah sasaran yang perlu kita rebut setelah riuh-rendah perhelatan ekonomi raksasa di Bali, yang berakhir hari ini.