Isyarat bagus datang dari persidangan kasus suap impor daging sapi. Terdakwa Ahmad Fathanah dituntut hukuman kumulatif 17,5 tahun penjara. Tuntutan ini bisa menjadi patokan bagi terdakwa lain, terutama Luthfi Hasan Ishaaq--bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera.
Fathanah didakwa terlibat suap importir daging sapi terhadap Luthfi sebesar Rp 1,3 miliar. Ia dijerat dengan Pasal 12a Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan pasal penyertaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam kejahatan ini, ia dituntut hukuman 7,5 tahun penjara. Fathanah juga dijerat kasus pencucian uang yang masih berkaitan dengan perkara suap dan dituntut hukuman 10 tahun penjara.
Total tuntutan kumulatif itu jauh lebih tinggi dibanding tuntutan terhadap terdakwa lain, seperti Arya Abdi Effendy dan Juard Effendi--keduanya petinggi perusahaan importir, PT Indoguna Utama. Mereka dituntut hukuman 4,5 tahun penjara dan akhirnya sama-sama divonis 2 tahun 3 bulan penjara. Hanya, kedua pengusaha ini memang berperan sebagai pihak penyuap dan tidak melakukan pencucian uang.
Tuntutan terhadap Fathanah akan lebih tepat dibandingkan dengan tuntutan yang kelak dijatuhkan pada Luthfi. Kebetulan, keduanya sama-sama dijerat dengan delik pencucian uang dan suap. Jika sebagai makelar suap Fathanah dituntut relatif berat, orang tentu membayangkan tuntutan buat Luthfi, yang saat itu memiliki kuasa besar, baik sebagai bos PKS maupun sebagai anggota DPR.
Penerapan tuntutan kumulatif itu termasuk langkah penting, kendati bukan yang pertama kali. Dalam kasus proyek simulator, Komisi Pemberantasan Korupsi juga menuntut terdakwa Djoko Susilo dengan dua perkara: korupsi dan pencucian uang. Kendati begitu, publik kemudian kecewa karena Djoko hanya divonis 10 tahun penjara, jauh dari tuntutan jaksa 18 tahun penjara.
Kali ini orang tidak hanya melihat soal tuntutan dan vonis yang kelak dijatuhkan pada Fathanah dan Luthfi, tapi juga kejanggalan skandal kuota impor daging sapi. Sejauh ini, KPK masih berkutat pada para importir, Fathanah dan Luthfi. Belum ada pejabat Kementerian Pertanian yang dijerat. Padahal jelas sekali suap itu berkaitan dengan kuota impor yang diatur oleh kementerian ini. Sulit membayangkan terjadi praktek suap tanpa penyalahgunaan wewenang pada pejabat instansi ini.
Penyidik KPK seakan kurang berani pula menyentuh tokoh yang lebih sentral di PKS. Padahal banyak indikasi menunjukkan permainan kuota itu tidak hanya melibatkan Luthfi, tapi juga petinggi lain. Misalnya, peran Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin dan anaknya, Ridwan Hakim, yang sering disebut dalam persidangan.
Penuntasan kasus korupsi seperti suap impor sapi ini sama pentingnya dengan menuntut dan memvonis seberat-beratnya para pelaku. Keduanya diharapkan memberikan efek jera lebih besar, dampak yang kini tak terlihat kendati ratusan politikus-pejabat telah dibui.