Motif Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan pembentukan 65 daerah baru perlu dipertanyakan. Inisiatif ini muncul menjelang Pemilihan Umum 2014 ketika partai politik dan para politikus memerlukan modal dan dukungan elite lokal. Melihat waktu yang tersisa-kurang dari enam bulan-DPR periode ini rasanya tak mungkin mengkaji pembentukan daerah baru secara mendalam.
Sikap ngotot itu terlihat aneh di tengah kebijakan penghentian sementara (moratorium) pembentukan daerah baru yang belum dicabut sejak 2010. Bayangkan bila usul politikus Senayan itu setujui pemerintah. Jumlah provinsi yang kini 34 bertambah menjadi 42. Kabupaten dan kota sebanyak 508 akan menjadi 565.
Sebelum mengusulkan pemekaran, DPR semestinya menengok lagi hasil evaluasi atas pembentukan daerah baru. Pemekaran selama ini telah melenceng dari keinginan mendekatkan layanan birokrasi kepada masyarakat. Tujuan ini tak tercapai lantaran ratusan daerah baru yang didirikan selama era reformasi cenderung tak siap. Sebagian besar anggaran daerah habis buat gaji pejabat daerah dan para pegawai.
Kementerian Dalam Negeri pun telah mengkaji sejumlah daerah berdasarkan kriteria, antara lain kualitas layanan, kesejahteraan masyarakat, dan tata kelola pemerintah. Dari 200 lebih daerah baru, hanya dua yang meraih skor di atas 60-dari nilai tertinggi 100. Daerah baru sering pula terjangkit penyakit birokrasi: maladministrasi dan mismanajemen.
Pada 2011, Badan Pemeriksa Keuangan sampai tak memberikan opini (disclaimer) pada laporan keuangan 67 daerah baru. Artinya, untuk mendapat opini "tidak wajar" saja, daerah baru itu tak mampu. Jangan heran, korupsi pun merajalela. Suap dan komisi haram kerap mewarnai perizinan usaha serta pengadaan barang dan jasa. Pada periode 2004-20012, sekitar 1.500 anggota DPRD dan 213 bupati/ wali kota terseret kasus korupsi-sebagian berasal dari daerah hasil pemekaran.
Proses demokrasi di daerah baru juga amburadul. Pemilihan langsung kepala daerah dimanipulasi elite lokal untuk membangun dinasti politik dan bisnis. Demi hasrat "raja-raja" lokal, masyarakat yang terikat jalinan primordial sering digiring ke pusaran konflik horizontal. Rakyat di daerah akhirnya hanya menjadi penonton, bahkan korban.
Dalam kondisi seperti itu, moratorium jelas diperlukan untuk mengevaluasi kebijakan lama dan merumuskan kebijakan baru. Ketimbang memaksakan pembentukan daerah baru, DPR lebih baik menuntaskan desain besar penataan daerah lewat Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru. Bahkan Dewan bersama pemerintah harus berani melikuidasi daerah baru yang gagal. Daerah itu bisa digabung ke daerah induk atau ke daerah terdekat yang lebih maju.
Sikap DPR yang getol mengusulkan pembentukan daerah baru ketimbang menyelesaikan pembahasan tunggakan puluhan RUU amat memprihatinkan. Dewan semestinya mengabdi pada kepentingan Republik, bukan kepentingan mereka sendiri atau elite lokal.