Betapa lamban polisi menangani kasus penyerangan terhadap kegiatan diskusi di Wisma Santidharma, Godean, Sleman, Yogyakarta. Serbuan yang dilakukan oleh Front Anti-Komunis Indonesia (FAKI) ini tak segera diusut. Pemerintah terkesan membiarkan kelompok yang mengancam kebebasan berkumpul dan berpendapat.
Kepolisian setempat berdalih, pengusutan tertunda karena saksi pelopor belum diperiksa. Alasan ini mengada-ada lantaran polisi juga terlihat berada di lokasi peristiwa pada Ahad, 27 Oktober, tersebut. Saat itu, 10 keluarga korban peristiwa 1965 yang sedang arisan dan reuni diserang oleh FAKI, yang dipimpin oleh Burhan Zainuddin Rusjiman. Empat orang terluka dan harus dibawa ke rumah sakit.
Polisi semestinya langsung memproses kasus tersebut karena bukan delik aduan. Serangan di Sleman itu bahkan dapat dicegah bila kepolisian mau melindungi hak penduduk untuk berkumpul dan melakukan kegiatan bermasyarakat. Pembiaran terhadap peristiwa itu semakin menunjukkan lemahnya pemerintah dalam menegakkan Pancasila sekaligus UUD 1945. Kebebasan penduduk sipil juga dijamin oleh Konvensi Hak Sipil dan Politik Internasional (ICCPR) yang kita ratifikasi delapan tahun lalu.
Pembiaran terhadap perampasan hak sipil itu juga bukan yang pertama. Pada Desember 2006, setahun setelah ICCPR diratifikasi, sekelompok orang membubarkan diskusi buku bertajuk "Perkembangan Marxisme Internasional" di Bandung. Bukannya menangkap para penyerang, polisi malah memeriksa panitia, narasumber, dan peserta diskusi. Februari lalu, diduga atas desakan kelompok tertentu, malah polisi yang melarang pemutaran film Jagal di Blitar. Film ini bercerita tentang seorang pembantai PKI pada 1965.
Sebenarnya tidak sulit mengatasi kelompok yang berbuat sewenang-wenang itu. Yang diperlukan hanyalah tindakan tegas: pelakunya ditangkap, diperiksa, diadili, dijebloskan ke penjara, dihukum seberat-beratnya sehingga menimbulkan efek jera. Apalagi mereka bukan teroris yang bersembunyi dalam gelap.
Sikap lunak pemerintah akan membuat publik curiga. Jangan-jangan pemerintah mempraktekkan cara lama untuk memanipulasi situasi politik. Dulu, pemerintah Ode Baru kerap merangkul, menggunakan, atau menciptakan kelompok-kelompok ekstrem untuk kepentingan politis dan ideologis. Saat itu hal tersebut dikenal dengan istilah penggalangan. Di satu sisi, negara stabil dan aman. Tapi di sisi lain, manipulasi ini melahirkan penindasan, terutama terhadap kelompok Islam dan pemikiran kritis.
Tentu kita juga tidak ingin politik manipulasi itu terulang. Pada era demokrasi ini, stabilitas justru akan terjamin bila pemerintah benar-benar menjaga hak setiap warga negara serta hak kebebasan berkumpul dan berpendapat. Itulah pentingnya kepolisian menangani secara serius kasus penyerangan di Wisma Santidharma, dan menyeret para pelakunya ke pengadilan. Tanpa langkah ini, pemerintah akan semakin dicurigai mempraktekkan permainan lama yang berbahaya.