Kini saatnya untuk marah, meradang, memprotes, bahkan mengutuk keras Amerika Serikat, yang telah melakukan kegiatan mata-mata, menyadap e-mail dan pembicaraan telepon, melalui kedutaan besarnya di Jakarta.
Di antara negara ASEAN, demikian menurut Edward Snowden, orang dalam di lembaga Badan Keamanan Nasional (NSA) yang berbalik menjadi whistle blower, tersebutlah kedutaan Amerika di Kuala Lumpur, Bangkok, Pnom Penh, Yangoon, dan Jakarta memiliki fasilitas penyadapan seperti ini.
Belum terungkap siapa saja yang menjadi korban penyadapan oleh Amerika di Indonesia. Yang jelas, semua orang mafhum bahwa setiap perwakilan diplomatik menempuh cara-cara yang lazim dilakukan dinas intelijen demi mengumpulkan keterangan. Namun ceritanya akan berbeda apabila sepak-terjang klandestin itu kemudian terbongkar: tuan rumah merasa kecolongan, kedaulatan telah diterjang, dan ketidakpercayaan membentang.
Amerika Serikat, yang belum sembuh dari trauma peristiwa "9/11" , seperti bergerak di alam bawah sadarnya: menerobos masuk negara sahabat guna menghabisi teroris. Peristiwa yang telah meluluh-lantakkan menara kembar World Trade Center di New York pada 11 September 2001 itu seolah menjadi pembenar atas kegiatan mata-mata. Bahkan diam-diam, seperti dilansir surat kabar The Guardian, Amerika menyadap 200-an telepon asing, termasuk 35 telepon kepala negara sekutunya.
Melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Indonesia memprotes keras, menuntut penjelasan resmi pemerintah Amerika Serikat. Sementara itu, Jerman, sekutu dekat Amerika dalam perang di Afganistan dan Irak, meradang lebih keras. Amerika telah menyadap telepon Kanselir Jerman Angela Merkel semenjak 2002-sebelum ia menjadi orang nomor satu di Jerman.
Perilaku Amerika lewat NSA tidak bisa lagi ditenggang. Lahir dari Amerika yang terguncang dan paranoid, lembaga ini telah menjelma menjadi raksasa yang sibuk memata-matai dunia. Memang, di antara politik yang formal, konferensi pers yang mengungkapkan satu hal tapi menyembunyikan yang lain, mungkin harus ada sosok yang melakukan dirty job seperti NSA. Namun, tatkala peran dan pengaruh badan yang sangat mengandalkan operasi intelijen ini semakin meraksasa, centang-perenanglah dunia diplomasi Amerika. Tuntutan akan penjelasan yang jujur dan jernih atas persoalan yang pelik ini bukan datang dari pihak lawan, melainkan dari para sekutu dekat.
Di Indonesia sepanjang 1967-1971, ketika negara dikendalikan oleh operasi intelijen, negara menguat, bahkan hegemonis. Tapi bukan karena solidnya dukungan rakyat, melainkan lantaran sokongan intelijen. Dan seandainya keadaan ini juga menimpa Amerika yang sangat mengandalkan operasi intelijen, ia akan terkucil, ditinggalkan sahabat-sahabatnya yang sakit hati karena skandal ini.
Sangat wajar jika Indonesia meningkatkan protesnya agar Washington mendengarkan lebih jelas suara-suara yang kritis terhadapnya dan Presiden Barack Obama mulai mengurangi wewenang NSA.