Bukan hal baru mendengar berbelitnya prosedur investasi di Indonesia. Sejak dulu, Indonesia sudah dikenal sebagai negara yang tidak akrab kepada investor. Namun cerita klasik ini tetap saja membuat kita jengkel dan bertanya-tanya: mengapa soal begini tak kunjung bisa diperbaiki? Kejengkelan itulah yang kembali muncul mendengar Indonesia lagi-lagi mendapat peringkat buruk dalam indeks kemudahan berusaha (Ease of Doing Business Index) di Indonesia.
Sejak lima tahun yang lalu, peringkat Indonesia dalam survei yang digelar International Finance Corporation-unit Bank Dunia yang menangani isu ekonomi dan keuangan-itu selalu mendekati posisi buncit. Tahun ini, dari 189 negara, Indonesia ada di ranking ke-120.
Kondisi ini sungguh kontras dibandingkan dengan hampir semua negara tetangga di Asia Tenggara, yang sudah melaju kencang. Singapura, misalnya, selalu berada di nomor satu. Begitu pun, mereka terus-menerus memperbaiki iklim investasinya. Bukan hanya Singapura. Malaysia tahun ini masuk nomor enam, dan Thailand mengejar di peringkat ke-18. Bahkan Filipina, yang tahun lalu di belakang kita, kini sudah menyalip dan bertengger di urutan ke-108.
Bank Dunia mencatat negara-negara yang peringkatnya melompat naik biasanya punya satuan tugas khusus untuk memperbaiki indikator kemudahan berusaha mereka. Adanya satgas semacam itu mencerminkan kesadaran bahwa kemudahan berusaha adalah prasyarat penting kemajuan ekonomi.
Kesadaran itulah yang terasa tak merata di Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) boleh jadi sudah berusaha keras membuat evaluasi dan merilis kebijakan baru. Namun kesungguhan itu tak ditopang oleh respons serupa dari kementerian dan lembaga lain.
Padahal, dari 10 indikator kemudahan berusaha, hanya ada dua indikator yang terkait langsung dengan kewenangan BKPM. Indikator lain, seperti akses pada listrik, misalnya, amat bergantung pada kinerja Perusahaan Listrik Negara. Begitu pula indikator yang terkait dengan pendaftaran properti dan izin mendirikan bangunan, masuk wilayah kerja pemerintah daerah. Sisanya berhubungan dengan kinerja Direktorat Jenderal Pajak, Bursa Efek Indonesia, Kementerian Perdagangan, sampai Mahkamah Agung. Walhasil, tanpa komunikasi dan kerja sama antarlembaga, sulit berharap ada sinergi lintas sektoral untuk memperbaiki indeks kemudahan berusaha kita.
Masalahnya, kerja sama semacam itu mensyaratkan adanya kerangka berpikir yang sama di semua jajaran terkait. Tanpa kesamaan visi dan kekompakan langkah pemerintah, mustahil ada perbaikan. Celakanya, saat ini belum semua pengambil kebijakan menyadari bahwa kemudahan mendirikan usaha baru akan mendorong kewirausahaan dan menyuburkan kompetisi yang berujung pada produktivitas ekonomi.
Jangan lupa, indeks kemudahan berusaha juga berkorelasi dengan indeks persepsi korupsi. Sampai sekarang, berdasarkan survei Transparency International, indeks persepsi korupsi Indonesia masih di ranking ke-118, jauh di bawah Singapura (nomor 5), Malaysia (54), Thailand (88), dan Filipina (105). Ranking indeks itu mirip dengan hasil survei indeks kemudahan berusaha. Dengan kata lain, jika permohonan izin bangunan masih butuh duit pelicin, petugas pajak masih bisa disuap, dan hakim masih terima sogokan, indeks kemudahan berusaha kita-dan otomatis indeks persepsi korupsi negeri ini-tak akan pernah beranjak dari kasta pariah.