Langkanya persediaan buku nikah di sejumlah provinsi belakangan ini sungguh mengherankan. Pernikahan setiap saat pasti terjadi. Bahwa ada bulan tertentu ketika angka pernikahan melonjak tinggi, itu pun bukan hanya kali ini. Bila kemudian buku nikah tiba-tiba hilang dan sulit dicari, penyebabnya pastilah bukan soal lonjakan angka pernikahan. Ada manajemen pengadaan buku nikah yang buruk dan harus diperbaiki. Kementerian Agama tak bisa menganggap langkanya buku nikah ini hanya perkara kecil.
Kelangkaan itu sudah terjadi setidaknya sejak Agustus lalu. Pada bulan ini, sejumlah provinsi, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat, mulai mengalami krisis buku nikah. Lambatnya upaya Kementerian Agama bertindak menyebabkan kelangkaan meluas ke provinsi lain. Sampai November ini, banyak daerah belum mendapat kiriman buku nikah dari Jakarta. Akibatnya, pasangan yang menikah harus diberi buku nikah sementara dengan masa berlaku tiga bulan.
Kelangkaan ini makin merepotkan masyarakat karena dampaknya ternyata tak hanya pada urusan pernikahan. Buku nikah adalah syarat penting untuk mengurus dokumen lain, seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, surat waris, hibah, jual-beli properti, pengajuan kredit, dan seterusnya. Bisa dibayangkan betapa repotnya. Aspek pelayanan publik yang semestinya sederhana ini ternyata menimbulkan masalah yang tidak kecil.
Kementerian Agama menyebut kelangkaan buku nikah terjadi akibat lonjakan permintaan menikah. Tahun lalu, jumlah pernikahan yang dicatat Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama adalah 2,3 juta pasangan. Tahun ini, hanya sampai Oktober saja, jumlah pernikahan sudah menembus 2 juta pasangan. Akibatnya, sejumlah daerah mengalami kelangkaan buku nikah. Disebut pula bahwa pada Oktober, permintaan menikah melonjak karena banyak orang mencari "bulan baik" menikah saat Idul Adha.
Sebab lain adalah lambatnya pencairan anggaran pengadaan. Anggaran baru turun pada Juli. Setelah itu, masih ada proses lelang dan pencetakan. Semua perlu waktu, termasuk proses distribusi ke seluruh kecamatan se-Indonesia. Plus ada alasan lain seperti dikatakan Menteri Agama Suryadharma Ali, yaitu pihaknya harus berhati-hati melakukan semua proses itu agar tidak terjerumus dalam penyalahgunaan anggaran.
Semua penyebab itu sebetulnya bisa dengan mudah diantisipasi bila saja Kementerian lebih siap. Lonjakan jumlah pernikahan pasti bisa diramalkan jauh hari. Ketakutan terjadi penyalahgunaan anggaran juga tak perlu dijadikan alasan. Bila semua proses lelang dan tender pencetakan berjalan sesuai dengan prosedur, apa yang perlu ditakutkan? Justru munculnya alasan itu membuat kita bertanya, jangan-jangan selama ini pengadaan buku nikah tak berjalan sesuai dengan ketentuan.
Untuk mencegah kelangkaan terulang, Kementerian Agama semestinya membenahi manajemen pengadaan hingga distribusi buku nikah. Walau pencairan anggaran terlambat, bila Kementerian telah memiliki basis data yang memadai, antisipasi bisa dilakukan. Misalnya dengan memprioritaskan pengadaan untuk daerah yang biasanya memiliki angka pernikahan tinggi.
Untuk ini, diperlukan sistem informasi yang kuat. Dengan teknologi Internet, seluruh Kantor Urusan Agama bisa membuat sistem data yang memudahkan pemantauan stok dan kebutuhan buku nikah. Teknologi ini tidak mahal dan rumit, apalagi hampir semua kecamatan kini telah terjangkau Internet.