Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkesan lempar tanggung jawab mengenai kemacetan lalu lintas di Ibu Kota. Kurang tepat jika ia melihat masalah ini bukan urusan pemerintah pusat melainkan tanggung Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Orang tahu, kemacetan lalu lintas akan mudah diatasi bila pemerintah turun tangan.
Yudhoyono mengungkapkan persoalan itu ketika menerima para pengusaha di Istana Bogor belum lama ini. Presiden menceritakan bahwa ia disindir mengenai kemacetan di Jakarta oleh beberapa perdana menteri dalam East Asian Summit 2013. Ia kemudian mengatakan, yang mesti menjelaskan solusi kemacetan Jakarta adalah Gubernur Joko Widodo. Presiden juga menerangkan, sesuai dengan sistem desentralisasi, kepala daerahlah yang bertanggung jawab atas problem di wilayah masing-masing.
Pernyataan Presiden muncul di tengah serangan politikus Partai Demokrat yang bertubi-tubi terhadap kinerja Gubernur Jakarta. Jangan heran bila orang banyak melihat ucapan Yudhoyono sebagai manuver pula untuk menyudutkan Jokowi. Aneh bila Presiden tak paham bahwa kemacetan di Ibu Kota disebabkan oleh banyak faktor yang sebagian di luar kendali pemerintah provinsi.
Saban hari kawasan Bogor-Tangerang-Bekasi-Depok mengirim jutaan kendaraan bermotor ke jalan-jalan Ibu Kota. Ini tak bisa ditangani sendiri oleh Jokowi. Pemerintah pusat harus turut tangan karena menyangkut koordinasi antarprovinsi. Terutama dalam urusan menyiapkan angkutan massal yang murah dan nyaman sehingga masyarakat bersedia meninggalkan kendaraan pribadi.
Tiga tahun yang lalu, Wakil Presiden Boediono telah mencanangkan 17 langkah mengatasi kemacetan Jakarta. Sebagian langkah yang tertera di sana memang hanya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat, misalnya optimalisasi kereta api dan pembentukan otoritas transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Ini berarti pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Yudhoyono seharusnya lebih banyak berperan.
Yudhoyono seharusnya mengapresiasi kebijakan Jokowi bersama wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama, dalam menekan kemacetan. Mereka sudah memulai beberapa langkah mendasar, seperti pembangunan mass rapid transit dan menyiapkan kebijakan jalan berbayar alias electronic road pricing. Dua hal ini tak pernah bisa dimulai oleh gubernur sebelumnya.
Proyek jangka pendek dan menengah pun sedang berjalan. Misalnya, memperbanyak armada busway dan Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway. Jokowi berhasil pula mengurangi kemacetan di kawasan Tanah Abang lewat penertiban pedagang kaki lima.
Kinerja dan kebijakan pemerintah pusatlah yang justru perlu dipertanyakan. Penyediaan angkutan kereta api yang murah dan nyaman tak kunjung beres. Pemerintah pusat juga membuat kebijakan mobil murah yang malah merangsang masyarakat menggunakan kendaraan pribadi. Ini bertolak belakang dengan ikhtiar mengatasi kemacetan lewat optimalisasi penggunaan angkutan umum.