Keputusan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menetapkan Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta 2014 sebesar Rp 2,441 juta adalah pilihan kompromi yang paling rasional. Semestinya semua pihak menerima, karena pengambilan keputusan itu sudah mempertimbangkan berbagai komponen hidup layak, plus laju inflasi sebesar 6,15 persen. Dengan keputusan itu, upah telah naik dibanding angka upah tahun ini sebesar Rp 2,2 juta.
Adalah wajar bahwa keputusan ini tidak bisa memuaskan semua pihak. Para buruh merasa tuntutan mereka belum terpenuhi. Pengusaha pun merasa berat untuk menaikkan nilai upah yang harus mereka bayar. Kedua pihak tentu punya alasan masing-masing. Pengusaha berpatokan bahwa kenaikan tak perlu sebesar itu karena mengacu pada komponen hidup layak yang disusun Dewan Pengupahan DKI Jakarta. Dalam patokan ini, digunakan 60 komponen sesuai dengan ketentuan Inpres Nomor 9 Tahun 2013, sehingga diperoleh angka Rp 2,29 juta.
Sebaliknya, buruh menggunakan komponen hidup layak dengan penambahan sejumlah item sehingga menjadi 84 komponen. Angka yang keluar pun jauh lebih besar: Rp 3,7 juta. Tambahan komponen versi buruh, antara lain, adalah keperluan membeli jaket, kipas angin, bedak, televisi, telepon seluler, dan minyak wangi.
Berada di antara dua kutub itu, pemerintah harus mengambil jalan tengah. Di sinilah, dengan mengikuti rekomendasi unsur pemerintah dalam Dewan Pengupahan DKI Jakarta, Joko Widodo membuat keputusannya soal UMP DKI 2014. Dengan keputusan itu, pengusaha harus rela membayar sedikit lebih, sedangkan kaum buruh pun semestinya ikhlas menerima lebih rendah daripada tuntutan mereka.
Kedua pihak bisa saja menolak dan mengajukan keberatan. Tapi, apa pun sikap yang diambil, sudah selayaknya semua pihak mengajukan keberatan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Menyatakan penolakan dengan mengerahkan massa untuk menekan agar besaran UMP 2014 diubah tak perlu dilakukan. Apalagi jika sampai diikuti penghadangan atau blokade akses jalan umum. Cara seperti ini, selain merugikan orang banyak, akan menjadi bumerang yang mendorong munculnya antipati terhadap gerakan buruh.
Menyuarakan kenaikan upah merupakan hak buruh. Apalagi upah minimum di Indonesia tergolong kecil dibanding di negara-negara ASEAN lain. Dibanding di Singapura, yang upah rata-rata buruhnya 3 dolar per jam, misalnya, upah di Indonesia hanya US$ 0,6 per jam. Bahkan kita kalah oleh Filipina, yang buruhnya berupah rata-rata US$ 1 per jam. Belum lagi kalau harus menghitung faktor inflasi.
Namun, bila buruh menuntut kenaikan upah menjadi Rp 3,7 juta dari semula Rp 2,2 juta, ini juga sulit dipenuhi pengusaha. Kenaikan upah secara drastis tidak hanya memberatkan biaya produksi, tapi juga akan merusak struktur gaji karyawan yang sudah bekerja di atas satu tahun. Artinya, yang harus dinaikkan bukan hanya upah buruh di lapis bawah, tapi juga di lapis menengah hingga atas. Jika itu terjadi, niscaya biaya produksi menggelembung, perusahaan bangkrut, dan para buruh kehilangan pekerjaan.
Walhasil, kini pilihan bagi buruh adalah menerima UMP DKI 2014 sebesar Rp 2,441 juta, atau menolak dan memaksakan UMP sebesar Rp 3,7 juta. Jika pilihan kedua yang diambil, mereka harus siap menjadi penganggur jika suatu saat perusahaan tempatnya bekerja bangkrut atau pindah ke daerah lain.