Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kepala

Oleh

image-gnews
Iklan
Tuhan tak bermurah hati bagi demokrasi, atau demokrasi tak bermula dari rasa syukur. Pada suatu hari dalam sejarahnya yang purba, orang Bani Israel bercita-cita menjadi seperti bangsa-bangsa lain: mereka ingin punya seorang raja. Seakan-akan Tuhan menyimpan sebuah anugerah: akan selalu ada seorang pemimpin, seorang manusia yang, konon, seperti Presiden Republik Indonesia, ada malaikat di dadanya, dan sebab itu layak dapat dampar yang agung. Tapi ada seorang alim yang sejak awal sudah mengingatkan bahwa kelak, setelah seorang raja dinobatkan, akan ada seseorang yang bisa membuat orang lain patuh kepadanya dan hal yang tak menyenangkan akan terjadi. Orang alim itu benar, tapi baru beratus tahun kemudian orang tahu ia benar. Demokrasi pun datang. Ia datang melalui sebuah ritus yang menakutkan: setelah bertahun-tahun di bawah kesewenang-wenangan seseorang, darah pun sering harus tumpah, pemberontakan terjadi dan ada seseorang yang semula disebut "baginda" akhirnya disembelih lehernya. Di kepala manusia yang diciptakan Tuhan, baik ia seorang raja atau bukan, ternyata bersembunyi sebuah cela. Demokrasi bermula dari kesadaran bahwa cela itu akan selalu ada, ibarat sebuah liang hitam dalam harapan. Dengan kata lain: sesuatu keadaan yang negatif. Sebab itu ide yang diwariskan Plato tentang "sang-raja-yang-filosof"?kombinasi antara ilmu yang tinggi dan kepemimpinan yang piawai dalam kepala seseorang, yang oleh orang Jawa disebut "pandhita-ratu"?adalah sebuah ide yang lahir di luar tradisi demokrasi. "Republik" Platonis adalah sebuah republik yang menampik negativitas. Di republik yang seperti ini, dibayangkan bertakhtanya seorang yang luar biasa, dan politik dilihat sebagai sesuatu yang bermula dari sebuah kepala?persisnya sebuah kepala yang padu dan utuh dan punya kelebihan. Seakan-akan dunia subyektif, yakni apa yang hadir dalam kesadaran akan selalu dapat diadaptasikan di dunia obyektif, dalam kenyataan yang terhampar di luar sana, yang rumit, rancu, selalu. Dalam sejarahnya yang pendek, Indonesia sebenarnya telah menjalani ritus membatalkan harapan tua tentang pandhita-ratu. Sukarno jatuh, Soeharto jatuh. Orang ramai bertempik sorak. Tapi agaknya masih tersisa sebuah keyakinan yang melanjutkan apa yang mungkin juga bisa disebut Platonis: bahwa politik adalah soal kemampuan dunia subyektif untuk mengubah dunia obyektif yang terhampar di luar itu, dengan cara mengerahkan apa yang ada di dunia subyektif. Di masa lalu, ketika "demokrasi terpimpin" diberlakukan antara 1958 dan 1965, pengerahan dunia subyektif itu dilakukan dengan mengharuskan seluruh negeri membaca "Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi" dan ajaran Sukarno. Di antara tahun 1966 dan 1998, usaha yang mirip berlangsung: orang harus mengubah isi kesadarannya dengan "Pancasila" dan beratus juta rupiah dihabiskan Soeharto untuk ratusan ribu penataran. Sejak 1999, tak ada Sukarno, tak ada Soeharto, tak ada indoktrinasi ataupun penataran, tapi orang tampaknya masih percaya bahwa apa yang ada di dalam diri manusia?dalam hal ini moralitas dan agama?akan bisa menyelamatkan dunia. Di sebuah sudut jalan di Jakarta pernah terpasang sebuah spanduk: "Takwa Adalah Solusi bagi Krisis Multidimensional". Tapi benarkah? Mungkinkah kebersihan moral dan ketaatan kepada Tuhan?sesuatu yang berada di lubuk diri orang seorang, sesuatu yang bisa membentuk pribadi seseorang?menyelesaikan pelbagai krisis di dunia? Di sebuah negeri yang berulang kali menyaksikan begitu banyak dusta dan patgulipat, memang mudah tumbuh hasrat umum untuk membuat yang moral menjadi politis dan yang politis menjadi moral. Ada keyakinan bahwa jika keteguhan moral dan takwa seseorang disebarluaskan agar jadi sebuah mufakat, maka sebuah komunitas akan berubah jadi baik. Tapi benarkah demikian? Saya tak yakin. Seperti orang-orang lain, saya telah menyaksikan bagaimana orang-orang yang memuliakan agama menghadirkan diri di ruang politik Indonesia: tak selamanya perilaku mereka terpuji. Tampaknya memang ada jarak antara kebajikan yang privat itu dan dunia orang ramai. Yang satu tak akan bisa identik dengan yang lain, bahkan yang satu bisa melahirkan negasi terhadap yang lain. Di antara keduanya, pelbagai proses dialektika pun bersilang surup. Dialektika itu tanpa suatu pola yang stabil, seperti dikira kaum Marxis. Yang berlangsung dalam sejarah adalah "petualangan-petualangan dialektika". Di situ, dalam avontur yang tanpa kepastian itu, politik adalah sebuah tugas yang sedih. Politik itu terkutuk, kata Marleau-Ponty, "justru karena ia harus menerjemahkan nilai-nilai ke dalam dunia fakta-fakta". Lebih-lebih lagi karena nilai-nilai itu dibuat di sebuah dunia dan bukannya "dinubuatkan untuk dunia itu". Di dunia itu juga sejarah berjalan, di wilayah yang lebat dan lindap, penuh tikus dan tikungan, lubang dan sampah, reptil busuk dan rawa payau. Seorang pendeta yang raja, seorang filosof yang pemimpin, seorang ulama yang presiden, mau tak mau tumbuh dan harus melangkah di teritorium yang seruwet itu. Mungkin ada malaikat di dadanya, tapi di perutnya juga ada lapar, dan tubuh itu juga punya bunyi dan bau yang jorok. Maka ketika yang moral berangkat untuk menjadi politis, ketika yang privat ingin menjelma menjadi yang publik, tak seorang pun tahu persis apa yang akhirnya akan tercapai. Sebab itu bisa saja seseorang di hari ini mengatakan bahwa "takwa adalah jawabannya". Tapi ingatkah ia apa pertanyaannya? Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

2 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

43 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

48 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

48 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.