Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pelan

Oleh

image-gnews
Iklan
POLITIK itu pelan. Mereka yang tak sabar akan bermimpi tentang revolusi, seakan-akan revolusi bukanlah politik yang ditempuh dengan cara lain. Tentu, revolusi bisa meletus, tapi setiap revolusi adalah sebuah pernyataan yang tak acuh kepada waktu. Kita tahu tentang itu sekarang, sekian ratus tahun dan sekian dasawarsa setelah yang terjadi di Amerika, di Prancis, di Rusia, dan di Cina. Fidel Castro memimpin Kuba yang revolusioner sejak akhir tahun 1950-an, tapi sampai hari ini, hampir setengah abad kemudian, ia masih belum juga selesai dengan pekerjaan itu. Politik itu pelan, jalan siput yang tak henti-hentinya zigzag, proses yang sebenarnya masih mengandung sebuah pertanyaan besar: di mana berakhirnya? Dewasa ini, orang pun mengakui bahwa akhir itu tak ada, kecuali bila langit runtuh. Politik, sebuah usaha di pentas publik untuk membangun dan menjaga sebuah kehidupan bersama?sebuah negeri, sebuah madinah, sebuah polis?adalah sesuatu yang telah kehilangan utopia. Sebab selalu ada yang tak beres dalam kerja itu, selalu ada pihak yang dirugikan, dan selalu ada yang harus didengar dan dicatat dalam perhitungan. Selamanya ada yang harus diajak berunding, berembuk, bersaing, berlawanan. Sebab itu tak pernah dimaklumkan kata putus yang penghabisan dan tak pernah semua pintu ditutup rapat. "Finality is not the language of politics," kata tokoh politik Inggris Disraeli. Tanpa sepatah kata putus apa pun, orang memang bisa bertanya di mana gerangan ada komunikasi dan konsensus. Atau orang pun putus asa. Politik kian sering tampak sebagai sebuah keasyikan yang sia-sia, bahkan sebuah ritual yang culas. Siapa saja yang merasa punya peran untuk menjadi suara moral akan mengambil langkah surut dari medan pergulatan ini, sebuah medan yang tak pernah sepenuhnya bersih dan murni. Hal-hal yang otentik, yang tulus dan benar tak akan dapat berlangsung di pentas yang publik, ketika seorang pelaku politik berjumpa dengan orang ramai. Sebab itu tak jarang, seseorang yang ingin menjaga budi yang luhur akhirnya menampik dunia orang ramai. Apalagi orang ramai tak ada hubungannya dengan kebenaran, kearifan, kebaikan. Baik di sebuah sistem yang demokratis maupun di sebuah suasana yang totaliter, orang ramai dapat saja menjadi penunjang seorang pemimpin yang tak terpuji dalam pikiran dan perbuatannya. Di Jerman orang ramai pernah memilih Hitler, di Israel kini orang ramai memilih Ariel Sharon, dan di Indonesia berulang kali rakyat patuh kepada para otokrat yang bersalah. Tapi menampik orang ramai sama artinya dengan pergi mengungsi ke sebuah biara dan tak hendak mengubah dunia. Kita pun akan mengatakan, seperti Heidegger dalam sebuah wawancara dengan Der Spiegel, bahwa "hanya dewa-dewa yang bisa menyelamatkan kita." Benarkah? Dewa-dewa tak pernah datang. Dalam pada itu, kebusukan dan kebencian tetap saja terjadi, mungkin menyebar. Seandainya pun dewa-dewa itu hadir, mereka?atau apa dan siapa pun yang datang dari Langit?akan tahu bahwa di bawah ini tak ada yang tak tercemar oleh dosa dan debu. Filosof seperti Heidegger, dengan ucapan yang dramatis dan mempesona, tak pernah yakin bahwa kehidupan sehari-hari juga bisa punya arti. Tapi dengan itu pula ia cuma seperti menjauh dan berkhalwat, di suatu masa ketika di Jerman Hitler berteriak, dan ratusan ribu orang yang tak berdosa dihabisi di kamar gas. Dengan kata lain, memilih menjauh dari dunia publik dan berkhalwat tak dengan sendirinya meneguhkan sebuah posisi moral. Lagi pula apa salahnya kehidupan sehari-hari? Juga politik yang sehari-hari, juga orang ramai? Rahib di biara yang membisu, filosof di perpustakaan yang besar, ahli ilmu di laboratorium yang lengkap?para alim itu memang ada baiknya terpisah dari pasar dan percaturan kekuasaan. Tapi hanya dalam kehidupan sehari-hari kita menyadari bahwa manusia tak pernah merupakan kesadaran yang tersendiri. Ia bukan ibarat seorang suci di Mahameru dengan kesadaran yang sepenuhnya dibentuk oleh Tuhan. Sebuah subyek selalu berupa "inter-subyektivitas". Maka sebuah "aksi komunikatif" bukan saja sebuah keniscayaan, tetapi jika kita bicara tentang hasil dan manfaat, aksi itu sesuatu yang produktif. Jika kita bersetuju dengan Habermas, konsensus bukanlah sesuatu yang mustahil. Mufakat dapat lahir dari percaturan pendapat di mana argumen yang lebih baik akan menang. Sebuah teori yang menghibur. Tapi terkadang saya ragu, benarkah pandangan cerah seperti itu? Hidup, apalagi komunikasi, berlangsung dalam bahasa. Di Indonesia orang mulai tahu bahwa politik hampir sepenuhnya terdiri dari kata, kata, kata?dan dengan lalu-lintas verbal itu orang pun berharap bahwa dunia akan jadi tenang, jalan tak lagi gelap, dan hidup berubah. Tapi apa lacur: dalam kenyataan, kata-kata tak selamanya membuat jalan tak lagi gelap. Tak semua hal bisa dibahasakan, tak semua "makna" dapat dikemukakan dalam situasi percakapan yang ideal. Sebuah permufakatan bahkan mungkin merupakan kesalahpahaman. Bahkan kesadaran tak sepenuhnya transparan bagi dirinya sendiri. Kata, kata, kata?. Politik itu pelan. Tapi adakah kita punya lain pilihan? Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

17 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

21 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

22 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

47 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

48 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

54 hari lalu

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.