Apa pun dalihnya, memberikan pensiun kepada tujuh bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terbukti korupsi jelas melawan akal sehat. Mereka tak layak menerima uang pensiun sepeser pun. Kendati mereka telah bekerja untuk negara, jasa mereka tak sebanding dengan kerugian negara akibat korupsi yang mereka lakukan.
Alasan DPR berkukuh tetap memberikan pensiun sama tak masuk akalnya. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Wakil Ketua Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Siswono Yudo Husodo menilai pemberian itu sah. Alasan mereka, "Sekecil apa pun, mereka kan sudah bekerja." Lagi pula, para koruptor itu mundur dari keanggotaan DPR sebelum dipecat secara tidak hormat.
Argumen itu sangat melukai rasa keadilan publik. Para koruptor itu, meski berada di hotel prodeo, masih tetap menerima uang negara yang besarnya bisa mencapai Rp 4 juta sampai Rp 8 juta per bulan, tergantung masa tugas, selama dia masih hidup. M. Nazaruddin, terpidana kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games, contohnya, meski sudah menggarong uang negara miliaran rupiah, sampai sekarang masih menikmati uang pensiun.
Memakai tameng undang-undang, Badan Kehormatan DPR tampak ingin lepas tangan dalam persoalan ini. Padahal, jika mau, mereka bisa memberhentikan secara tidak hormat anggota DPR yang tersandung kasus korupsi. Badan Kehormatan sudah bisa menjatuhkan vonis dengan bukti-bukti pelanggaran etik tanpa perlu menunggu persidangan usai. Cara itulah yang ditempuh Majelis Etik Mahkamah Konstitusi. Saat kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar mulai terkuak, majelis ini segera bersidang. Mereka menolak pengunduran diri Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan memecatnya secara tidak hormat. Keputusan itu dijatuhkan jauh sebelum kasus hukum Akil masuk persidangan.
Badan Kehormatan DPR seharusnya melakukan cara serupa, bukan tutup mata seperti sekarang. Khalayak sangat kecewa melihat badan ini yang terkesan justru ingin melindungi para koruptor tersebut. Badan Kehormatan seperti sengaja mengulur waktu, menunda rapat dengan menunggu sampai kasus hukumnya inkracht. Proses ini biasanya memakan waktu bertahun-tahun, dan saat itulah para anggota DPR nakal itu "menyalip di tikungan": mereka mundur agar tak bisa dipecat secara tidak hormat.
Akal-akalan seperti itu harus dihentikan. Badan Kehormatan DPR seharusnya tak memanjakan para koruptor. Masyarakat menunggu keberanian Badan Kehormatan memecat para anggota DPR yang terbukti melanggar kode etik secara fatal. Mereka tak perlu menunggu keputusan hukumnya final.
Cara lain yang harus ditempuh DPR adalah mengamendemen Undang-Undang No. 27/2009 tentang anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU No.12/1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara. Dua undang-undang itu mesti dilengkapi dengan pasal tentang mekanisme penghentian pemberian pensiun bagi anggota lembaga tinggi negara yang terbukti melakukan tindak pidana seperti korupsi. Jika cara ini tak ditempuh, kasus pensiun M. Nazaruddin atau Akil Mochtar bisa terulang. Sungguh tak masuk akal bila negara memberikan kado pensiun kepada para koruptor.