Kecelakaan helikopter militer terus saja berulang. Serangkaian insiden itu seharusnya membuat TNI melakukan investigasi mendalam. Sebab, jika dibiarkan, hal ini bisa mengancam rencana besar membangun sistem peralatan dan persenjataan yang tangguh.
Tragedi terbaru menimpa helikopter jenis Mi-17. Heli ini jatuh dan terbakar saat mendarat di pos perbatasan RI-Malaysia di Malinau, Kalimantan Utara, Ahad lalu. Kecelakaan itu merenggut 13 nyawa dan membuat enam orang terluka parah.
Dari insiden ini, muncul kecurigaan bahwa heli buatan Rusia yang dioperasikan sejak 2011 itu tak terawat. Salah satu buktinya, 2 Agustus lalu pintu heli ini copot saat mengudara di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. Serpihannya menghantam rumah penduduk dan mobil yang diparkir. Untung saja saat itu tak ada korban jiwa.
Kejadian berikutnya pada 11 Oktober, Mi-17 yang punya daya angkut 36 penumpang itu mendarat darurat tak jauh dari Bandar Udara Okbibab, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Sampai sekarang belum diketahui pemicu teknis copotnya pintu dan alasan pilot mendarat darurat di Okbibab.
Penyebab kecelakaan yang terakhir, yakni di Malinau, memang belum bisa disimpulkan. Penyelidikan atas peristiwa itu masih berlangsung. Ada dugaan, terdapat kesalahan dalam penggunaan alat pada helikopter. Namun TNI menyangkal hal itu. Mereka juga membantah tudingan adanya kerusakan pada mesin helikopter. Institusi ini menyalahkan adanya angin kencang sehingga membuat heli kehilangan kendali saat mendarat.
Serangkaian insiden itu membuat kita prihatin. Heli tempur Mi-17 merupakan salah satu prioritas dalam program peremajaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Fungsinya menggantikan heli kuno, seperti Super Puma, Bolkow, Bell, dan Twinpack. Di antara heli-heli itu, ada yang dibuat pada 1979. Catatan penting, heli tua tersebut seluruhnya pernah mengalami insiden.
Keberadaan Mi-17 rupanya mengalami nasib sama. Heli yang dianggap andal karena sanggup menjelajah medan berat dan menjangkau pulau terpencil ini masuk catatan alutsista yang celaka di wilayah Indonesia. Panglima TNI Jenderal Moeldoko tak cukup membentuk tim investigasi yang tugasnya hanya mencari tahu penyebab jatuhnya Mi-17.
Jika ditemukan fakta bahwa heli-heli itu memang tak layak terbang karena kurangnya perawatan, Moeldoko harus berani mengandangkan semua Mi-17 yang tersisa. Langkah ini perlu diambil guna mencegah bertambahnya korban jiwa.
Yang lebih penting lagi, TNI jangan cuma jago membuat anggaran untuk membeli peralatan baru. Mereka juga harus menyediakan bujet pemeliharaan yang memadai. Apa gunanya memiliki helikopter atau pesawat canggih tapi tak bisa terbang karena pemeliharaannya ala kadarnya?
TNI seharusnya bisa meyakinkan Dewan Perwakilan Rakyat ihwal pentingnya anggaran pemeliharaan. Ini agar anggaran militer tak terus-menerus dipangkas. Sungguh menyedihkan melihat Indonesia, negara dengan wilayah luas, hanya dijaga menggunakan peralatan militer yang "ala kadarnya". Bandingkan dengan negeri tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, yang punya pesawat tempur dan peralatan terbaru. Negeri ini butuh armada militer yang kuat. Karena itu, TNI dan DPR seharusnya duduk bersama untuk mewujudkannya melalui anggaran yang memadai.