Indonesia sudah seharusnya menarik pulang duta besar untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema. Keputusan ini merupakan sikap tegas terhadap pemerintah Australia soal isu penyadapan. Selain tidak pantas, penyadapan intelijen Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, dan sejumlah pejabat tinggi negara itu jelas bukan tindakan yang bersahabat.
Sejauh ini, belum ada penjelasan resmi dari pemerintah Australia soal penyadapan yang dilakukan pada Agustus 2009. Peristiwanya memang sudah cukup lama, tapi baru terungkap setelah ada dokumen bocoran dari mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat, Edward Snowden.
Dokumen berbentuk slide tertanggal November 2009 itu jelas disebutkan milik Defence Signals Directorate, yang kini bernama Australian Signals Directorate, serta Departemen Pertahanan Australia. Dalam salah satu slide berjudul "IA Leadership Targets + Handsets", dimuat nama orang-orang yang menjadi target serta jenis telepon yang digunakan.
Ketika berkunjung ke Australia pekan lalu, Wakil Presiden Boediono berkali-kali menyatakan kedua negara perlu menjalin hubungan yang lebih baik dan berjangka panjang. Perdana Menteri Tony Abbott pun menanggapinya dengan mengatakan bahwa hubungan dengan Indonesia merupakan satu hal yang sangat penting.
Dalam konteks ini, penarikan tersebut sesungguhnya patut disesalkan karena Perdana Menteri Abbott, yang berasal dari Partai Liberal, kentara betul hendak meningkatkan hubungan kedua negara. Kunjungan Wakil Presiden Boediono ke Australia bisa dikatakan memberi hasil yang positif. Abbott dan Boediono meresmikan Australia-Indonesia Centre.
Pembentukan pusat studi ini diharapkan bisa membangun sebuah hubungan jangka panjang yang produktif di antara kedua negara. Australia juga menghidupkan kembali proyek Colombo Plan. Lewat proyek ini, pemerintah Australia akan mendanai mahasiswa yang hendak melakukan studi ke Indonesia.
Sayang sekali, berbagai hal baik yang dicapai itu runtuh begitu saja. Bocoran Snowden muncul hanya sehari setelah Boediono mendarat di Jakarta. Tentu saja, kita berhak menaruh syak wasangka bahwa pernyataan Abbott kepada Boediono tak lebih dari sekadar ungkapan diplomatik yang kosong dan penuh basa-basi. Mustahil Abbott tidak mengetahui detail penyadapan tersebut.
Posisi Abbott memang terjepit. Penyadapan itu dilakukan ketika Australia dipimpin Perdana Menteri Kevin Rudd. Namun, bagaimanapun, Abbott tetap harus mempertanggungjawabkan tindakan pendahulunya. Abbott tak bisa lagi hanya menunggu Snowden membongkar file-nya lembar demi lembar.
Jika Australia menginginkan hubungan kedua negara berlanjut, permintaan maaf menjadi syarat yang tak bisa ditawar. Negara itu semestinya menyimak pernyataan Boediono yang menyitir sebuah ungkapan: kita tidak bisa memilih tetangga-karena merupakan sebuah takdir-tapi kita bisa memilih teman yang baik.