Upaya Nanggroe Aceh Darussalam membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) semestinya menampar pemerintah pusat. Masalah hukum akan muncul karena hingga kini kita belum memiliki Undang-Undang KKR yang baru. Tapi pemerintah tidak bisa menyalahkan Aceh, yang berinisiatif membentuk Komisi Kebenaran.
DPR Aceh kini sedang membahas qanun pembentukan KKR buat menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia di sana. Pengusutan terutama ditujukan untuk kasus penyiksaan dan penghilangan orang selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer sepanjang 1989-2005. Qanun mengenai KKR Aceh ditargetkan selesai pada akhir tahun ini.
Langkah itu mesti dihargai. Kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh hanya akan tuntas bila diungkap secara gamblang. Saling memaafkan pun hanya bisa dilakukan sepenuh hati kalau kedua belah pihak, pelaku dan korban, mendapatkan keadilan. Pembentukan KKR itu juga merupakan amanat perjanjian Helsinki pada 2005 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pengusutan oleh KKR kelak juga tak harus bertabrakan dengan penyelidikan yang kini dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sejak Oktober lalu, Komnas HAM membentuk Tim Ad hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM di Aceh. Kasus yang diusut antara lain penyiksaan dan pembunuhan di Rumah Geudong, penembakan massal di Simpang KKA, pembantaian di Jambo Keupok, dan kuburan massal di Timang Gajah. Bulan depan, Tim Ad Hoc mulai memeriksa para saksi, dari para korban sampai petinggi sipil dan militer.
Kerja sama Komnas HAM dengan KKR Aceh bisa dijalin dengan cara saling menukar temuan. Direncanakan, KKR Aceh juga melibatkan anggota Komnas HAM serta anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Kalau muncul kritik, pembahasan Qanun tentang Pembentukan KKR sejauh ini belum menerima masukan dari para anggota keluarga korban.
Masalah lain yang lebih krusial menyangkut hukum. Dalam UU No. 11/2006 memang disebutkan mengenai pembentukan KKR di Aceh. Tapi KKR ini mesti bekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam penjelasan undang-undang ini dinyatakan, rujukan yang dimaksud adalah UU No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Persoalannya, undang-undang ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006.
Kendati amat terlambat, tahun ini pemerintah telah menyodorkan RUU tentang KKR untuk menggantikan undang-undang yang dicabut tersebut. Tapi RUU ini tidak dalam prioritas pembahasan oleh DPR. Terkatung-katungnya RUU tentang KKR itu amat memalukan. Konsekuensinya amat besar karena menunda penyelesaian banyak sekali kasus pelanggaran HAM di negeri ini, termasuk di Aceh. Pengusutan KKR Aceh kelak bisa kurang maksimal. Wewenang dan yurisdiksi lembaga ini menjadi terbatas karena dianggap tidak dipayungi undang-undang.
DPR seharusnya memprioritaskan pembahasan RUU tentang KKR agar persoalan HAM di Aceh cepat selesai. Kalau pekerjaan rumah ini tidak diselesaikan, jangan salahkan bila parlemen Aceh berinisiatif membentuk KKR.