Terlalu berat beban yang dipikul Jakarta. Saban hari ada 6.000 ton sampah yang dibuang warga kota ini. Keadaan itu diperparah oleh sikap sebagian besar warga Jakarta yang justru menjadi penyumbang kesemrawutan pengelolaan sampah. Warga pinggir sungai, misalnya, saban hari membuang 2.000 ton sampah ke sungai-sungai Jakarta. Sangatlah pantas jika pemerintah DKI Jakarta memberikan sanksi tegas untuk memerangi sampah.
Selama ini pemerintah Jakarta kelewat toleran terhadap orang yang sembarangan membuang sampah. Meski punya Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah sejak 1988, tak pernah ada sanksi berat untuk pelanggarnya.
Kali ini pemerintah DKI Jakarta tak ingin setengah hati terhadap orang yang membuang sampah sembarangan. Segala upaya ditempuh untuk menegakkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah. Salah satunya, akan menerjunkan Satuan Polisi Pamong Praja untuk menangkap warga yang kedapatan membuang sampah sembarangan.
Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menginginkan aturan ini ditegakkan mulai awal tahun depan. Warga yang tertangkap basah membuang sampah tidak pada tempatnya akan didenda Rp 500 ribu. Sedangkan bagi perusahaan yang melanggar, dendanya lebih besar lagi, yakni hingga Rp 50 juta. Basuki mengaku berkoordinasi dengan Kejaksaan Tinggi dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk memproses para pelanggar. Kita berharap rencana ini tak hangat-hangat bubur ayam, melainkan diterapkan secara serius dan kontinu, seperti yang dilakukan pemerintah Kota Singapura. Tak ada ampun bagi para pembuang sampah sembarangan di sana.
Masalah sampah semakin lama semakin pelik. Untuk membersihkannya, perlu biaya dan usaha besar. Setiap hari dibutuhkan sekitar 2.000 truk untuk mengangkutnya. Juga butuh lahan luas seperti Bantargebang untuk menampungnya. Saat musim hujan tiba seperti sekarang, sampah-sampah yang menyesaki 13 sungai utama dan 144 sungai kecil di Jakarta bahkan menjelma menjadi biang banjir.
Dinas Kebersihan DKI Jakarta mencatat 90 persen sampah yang dipungut dari kali merupakan sampah rumah tangga, dan hanya 10 persen sampah organik dari pepohonan. Melimpahnya sampah ini semestinya bisa dicegah bila setiap wilayah menerapkan sistem pengelolaan sampah seperti di Banjarsari, Jakarta Selatan; atau Malaka, Jakarta Timur. Mereka membangun bank sampah dan mengelolanya dengan konsep 3R, yaitu reuse (gunakan kembali), reduce (kurangi volumenya), dan recycle (daur ulang).
Konsep 3R itulah yang harus disosialisasi secara terus-menerus. Saat ini baru beberapa gelintir kampung yang menerapkannya. Dengan konsep itu, kedua kampung tersebut dapat mengurangi volume sampahnya sebanyak 40-60 persen. Warga memilah-milah sampah, yang organik diolah menjadi kompos, sedangkan yang anorganik dijual. Hanya sisa sampah yang tak dapat diolah atau didaur ulang dibawa ke pengolahan akhir. Bila peraturan ditegakkan dan konsep 3R dijalankan, Jakarta tak perlu pusing memikirkan ke mana sampahnya dibuang. Sampah semestinya tak menjadi masalah. Malah bisa diolah menjadi listrik, seperti yang telah diterapkan di negara-negara maju.