Unjuk rasa dan pemogokan dokter menyusul putusan kasus Dewa Ayu Sasiary Prawani merupakan fenomena menarik. Kurang percaya pada proses peradilan umum, kalangan kedokteran pun mengusulkan lembaga pengadilan khusus masalah kesehatan. Usulan ini perlu dipertimbangkan.
Aksi yang dimotori Ikatan Dokter Indonesia itu dipicu oleh vonis hakim Mahkamah Agung terhadap Dokter Dewa Ayu dan kedua koleganya, yang dinilai melakukan malpraktek terhadap Julia Fransiska Maketey. Mahkamah menghukum mereka 10 bulan penjara.
Kasus ini terjadi pada 2010 ketika Julia akan melahirkan dan dirujuk ke Rumah Sakit Prof Kandou, Manado. Di tempat ini ia ditangani Dokter Ayu, yang dibantu dr Hendi Siagian dan dr Hendry Simanjuntak. Ketiganya melakukan operasi caesar, tapi pada akhirnya Julia meninggal. Kasus ini dibawa ke Pengadilan Negeri Manado, yang kemudian memvonis ketiganya tidak bersalah. Tapi, di tingkat kasasi, ketiga dokter itu dianggap melakukan kealpaan yang menyebabkan pasien meninggal.
Reaksi keras dari para dokter dipahami. Mereka menganggap MA mengkriminalkan tindakan medis. Bayang-bayang ancaman penjara ini dikhawatirkan akan menyebabkan para dokter waswas ketika melakukan tindakan medis berisiko-padahal diperlukan. Kendati begitu, para dokter seharusnya tidak mogok karena akan merugikan masyarakat, terutama pasien yang amat membutuhkan pertolongan.
Kita perlu membenahi proses peradilan kasus kedokteran agar tidak muncul putusan yang kontroversial. Selama ini, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, pelanggaran disiplin dalam tindakan medis disidangkan lewat Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Sanksi produk sidang ini antara lain pencabutan izin praktek, atau dokter diperintahkan bersekolah kembali.
Di situlah muncul celah kekecewaan konsumen yang menjadi korban. Kerugian yang mereka alami tidak terkompensasi. Kelemahan lain, putusan sidang disiplin kedokteran itu juga kurang memuaskan masyarakat. Dalam kasus Dewa Ayu, ia sebetulnya diputus tidak melanggar etik kedokteran, tapi kemudian dinyatakan bersalah oleh MA.
Usulan membentuk peradilan khusus kasus kedokteran bisa dipertimbangkan. Apalagi kasus malpraktek cukup banyak. Hingga Januari 2013, Konsil Kedokteran Indonesia menerima pengaduan dugaan malpraktek sebanyak 183 kasus. Kini perkara malpraktek masih terbuka dibawa ke peradilan umum karena undang-undang yang ada memungkinkan hal ini. Kasus yang menyangkut malpraktek diatur dalam tiga paket Undang-Undang Kesehatan (UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit).
Kasus Dewa Ayu memang belum berakhir. Ia dan rekannya masih berhak mendapat putusan yang lebih adil lewat peninjauan kembali. Tapi, tanpa pembenahan proses penanganan kasus malpraktek--termasuk sidang disiplin kedokteran--kontroversi yang sama bisa terulang.