Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Hanuman

Oleh

image-gnews
Iklan
Masa lalu sering memenggal masa depan, dan tragedi pun terjadi. Ketika modernitas tak lagi menebus rasa tenteram, apa lagi yang jadi cadangan batin manusia, selain monumen? Di puing-puing Masjid Manchaji yang dihancurkan orang-orang Hindu yang militan, kini berdiri patung warna jingga Hanuman. Di sekeliling sosok sang dewa kera, buah nyiur dan untaian kembang diletakkan dengan hormat. "Menanglah Hanuman!" teriak orang-orang Hindu di Gujarat itu setelah meluluh-lantakkan masjid. "Menanglah umat Hindu!" Dan bendera yang berwarna kuning cemerlang itu pun dipasang setelah menara masjid ambruk. Dulu, kata juru bicara Hindu militan itu, di tempat itu ada sebuah candi. Delapan puluh tahun yang lalu, kata mereka, orang Islam menghancurkannya, dan di atasnya didirikan Masjid Manchaji. Dengan demikian, kata mereka, apa yang mereka lakukan hari itumenghancurkan itu masjidhanyalah sebuah usaha memulihkan masa lalu. Mengapa masa lalu harus dipulihkan, belum ada yang bertanya. Hari itu, yang bersuara hanya amarah. Sebab sesuatu yang tak kalah brutal terjadi: di hari Rabu sebelumnya, di Godhra, sejumlah orang Islam melemparkan bom api ke kereta api yang mengangkut orang Hindu yang baru pulang dari sebuah rapat umum untuk mendirikan sebuah kuil di atas masjid yang dihancurkan di India utara. Hampir 60 orang mati. Pembalasan pun meletup. Kaum militan Hindu mengamuk, membantai ratusan muslim, mengusir mereka dari rumah dan perkampungan yang dibakar. Selama lima hari, lebih dari 500 orang mati. Tak cukup menghabisi tempat tinggal, para militan itu juga meruntuhkan nisan di kuburan, dan sebagai gantinya mereka pasang patung Hanuman. Apa yang tampak muslim harus musnah. "Menurut adatnya, orang Hindu itu toleran," kata Mohan Patel, seorang pegawai kantor pajak yang ikut dalam gerakan penghancuran masjid itu, kepada wartawan The Washington Post. Tapi "kini orang Hindu terbangun". Menurut adatnya. Ternyata, kali ini, dalam hal ini, "adat", bagian dari masa silam itu, telah diabaikan. Tradisi tak dikukuhkan kembali seperti patung Hanuman. Dengan kata lain: orang-orang itu memang memilih. Masa silam itu mereka permak, ibarat sehelai baju yang dipotong dan dijahit kembali agar pas dan pantas buat tubuh di hari ini. Ke mana potongan yang tak terpakai itu dibuang, dan kenapa justru itu yang dianggap tak cocok, semua itu adalah pertanyaan yang selalu dielakkan oleh fundamentalisme. Fundamentalisme, Hindu atau yang lain, menganggap bahwa "fundamen" mereka bukan sesuatu yang sebenarnya telah dipermak oleh hasrat dan kecemasan hari ini. Mereka menganggap itu sesuatu yang datang dari sana, utuh, asli. Yang suci dianggap telah hadir sebelum waktu bergerak. "Kekal" atau "abadi" mirip dengan "lama" atau "kuno" atau "asli". Dengan demikian, yang "baru" berarti asing atau aib. Yang kekal adalah Hanuman. Yang abadi adalah monumen. Yang tak lekang oleh panas adalah berhala dan kitab suci. Dan masa lalu pun memenggal masa depan. Seakan-akan masa kini (yang mengalir terus) tak berarti apa-apa, bahkan tak ada dalam diri kita. Dan tragedi terjadi. Sebab masa kini sebenarnya tak bisa ditiadakan, kecuali melalui kekerasan, dengan pelbagai jenis dan derajatnya. Ia tak bisa dikorbankan untuk masa lalu, sebagaimana ia tak bisa dikorbankan untuk masa depan. Ada masanya, memang, manusia meledakkan revolusi. Di momen itu, justru masa depan yang memenggal masa lalu dan mengebiri masa kini. Revolusi Prancis di tahun 1789, seperti halnya Revolusi Rusia di tahun 1917, adalah contoh ketika yang "modern" menemukan pernyataannya yang eksplosif. Agama dan adat yang ada hendak dihapuskan karena keduanya bagian dari zaman yang dianggap mencekik dan mengelabui pikiran. Masa lalu, dalam bentuk feodalisme, dipaparkan sebagai sesuatu yang menyebabkan manusia terjebak. Maka semuanya harus diubah tegas. Masa depan harus dilahirkan. Upaya dan akal budi yang akan melahirkannya. Semangat "Pencerahan" itu, kita tahu, menjangkau jauh ke luar Eropa. Kemerdekaan nasional di Asia-Afrika adalah lanjutan gelombangnya. India di bawah Nehru dan Indonesia di bawah Sukarno bukan sekadar hendak bebas dari kekuasaan asing. Nasionalisme, seperti yang kita temukan di kedua negeri ini, memang berbeda dengan "Pencerahan" Revolusi Prancis dan Rusia yang memerangi agama. Namun nasionalisme ini juga hendak melahirkan yang baru: sebuah bangsa yang terdiri dari manusia yang tak dibedakan oleh agama, kelas, tradisi, tapi manusia yang universal karena bebas, setara, dan bersaudara. Tapi, ketika semua ditindas demi masa depan yang indah itu, ada yang menjerit. Sebab yang "baru" tak selamanya indah, yang modern tak biasanya menebus rasa tenteram. Nasionalisme sendiri terkadang tampil represif: untuk persatuan, ia cenderung mendesak orang melupakan adat, nilai, keyakinan, yang berbeda-beda. Diam-diam, oposisi berkerumuk. Ketika nasionalisme dari masa Nehru dan Sukarno tak juga menyebabkan hidup yang lebih baik, orang pun beramai-ramai mengukuhkan "kaum-isme". Kaum saya, bukan bangsa dan kewarganegaraan, yang jadi tumpuan kesetiaan saya. Kaum saya adalah identitas saya, dan identitas itu berakar di masa lalu saya. Dengan demikian masa depan, juga masa kini, hanya bisa berarti karena masa lalu. Bahkan mereka hanya ada di masa lalu: di sosok Hanuman, di rumah suci tua, dalam kitab yang jadi berhala. Di luar itu: puing, abu, mayat. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

39 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

44 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

45 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.