Iklan
Ia bisa membakar gedung kantor partai lain, atau menghancurkan rumah minum, atau merusak sekolah organisasi X, atau membumihanguskan rumah ibadat, atau membunuh dukun santet, menjarah toko, memperkosa orang Cina, merusak hutan lindung, membantai suku Anu, dan entah apa lagi. Tapi ia, seperti hanya Sri Paus, secara a priori adalah sebuah wujud yang memiliki infabilitas: ia dianggap tak bisa bersalah. Tiap kali kekerasan macam itu terjadi, akan datang dalih tentang keadilan, tentang demokrasi, atau tentang provokasi, dan semuanya pun seakan-akan tampak jadi terang. Polisi diam. Mahkamah lengang. ?Ia? adalah sebuah posisi yang disebut ?rakyat?, atau ?massa?. Ada yang mengatakan orang ramai itu tak pernah satu bentuk.Tiap ekspresi kekerasannya tak pernah bisa dianggap sama. Namun kita hidup dalam sebuah retorika yang panjang tentang populisme dan ?kedaulatan rakyat?, dan himpunan manusia itu, yang dalam hidup sehari-hari dan dalam kisah sejarah bisa tampil kongkrit, justru mendapatkan simbol, pengakuan dan kekuatannya ketika ia masuk ke dalam bahasa. Ia menjadi sebuah pengertian yang abstrak. Dalam leksikon Marxis-Leninis kata rakyat itu bahkan ditulis dengan huruf kapital di depan: ?Rakyat?. Mula-mula adalah manusia-manusia yang sudah bertahun-tahun tertindas. Darah mereka telah mengalir. Seperti termaktub dalam lagu Darah Rakyat, mereka ?menderita sakit dan miskin?. Kemudian, dari tulang yang ringsek dan jangat yang perih itu, mereka mengalami transformasi: mereka muncul dalam sebuah kata sakti dan ?menjadi hakim?. Mereka menjadi ?Ia?. Kekerasannya adalah ibarat vonis dan eksekusi sekaligus. Tapi analogi itu tentu saja tak menunjuk kejadian secara pas: seorang hakim bisa bersalah, ia bisa pusing kepala dan tekanan darahnya bisa naik, dan sebab itu si pesakitan diberi hak untuk naik banding. Tapi ketika ?Rakyat? jadi hakim, Ia tak mungkin bersalah. Ia adalah pewaris Sabda Keadilan? Tapi benarkah? Karena ?kedaulatan rakyat? lahir dari kesalahan yang terjadi ketika kesetaraan tak dianggap ada, saya selalu mengira demokrasi hanya mungkin ketika orang menolak prinsip infalibilitas pada siapa saja, termasuk Sri Paus, termasuk ?massa?. Bagi saya demokrasi adalah sebuah manajemen atas kemungkinan-kemungkinan bersalah, khususnya kemungkinan laku angkara-murka. Barangkali saya keliru. Tapi seseorang pernah mengatakan, bahwa demokrasi di Amerika Serikat bisa bertahan sampai 200 tahun lebih karena konstitusinya disusun oleh orang-orang yang syak akan sifat manusia. Ada sesuatu yang konon diperoleh dari Protestantisme dalam rasa syak itu: manusia dianggap hadir di dunia dengan ?dosa asal?. Ia sudah tergoda di surga. Ia pasti akan tergoda lagi berkali-kali di bumi. Sebab itu berlapis-lapis pagar pun disiapkan. Juga terhadap orang ramai. Rakyat banyak, demos, tetap dianggap tak lepas dari kemungkinan berbuat sewenang-wenang, terutama terhadap minoritas. Maka orang ramai juga harus dibatasi cakarnya. Hukum pun disusun, lembaga dituang. Kebajikan harus jadi rutin. Dan pada gilirannya kerutinan itu jadi kebajikan. Dalam kebajikan yang rutin itu, ?Rakyat? memang memiliki kedaulatan, tetapi tanpa karisma, juga para santo dan para aulia. Politik bukan lagi letupan, hanya tepuk tangan yang gemuruh: sebuah politik tanpa kemarahan besar. Ada yang mungkin hambar di situ, tapi juga tragedi tak ada lagi. George Steiner pernah menulis sebuah buku, The Death of Tragedy, dan ia menyimpulkan bahwa penderitaan tragis adalah ?sebuah privilese yang murung yang didapatkan oleh mereka yang berada di tempat atas?. Hamlet adalah seorang pangeran, Lear seorang raja, Oedipus anak raja yang dibuang dan kembali menjadi raja. Mereka berada di ketinggian, dan di sana angin yang paling taufan yang akan keras memukul, petir yang paling panas yang akan menghantam. Di ketinggian itu, persoalan bukan lagi hal-hal yang sehari-hari, (semua sudah dibereskan oleh sebuah staf atau sejumlah laskar), melainkan persoalan memperebutkan makna di dalam sebuah pengalaman. Lebih spesifik lagi: sebuah pengalaman yang terbentuk oleh kejatuhan. Saya ingat sebuah film indah yang dibuat orang di Rusia di tahun 1960-an berdasarkan karya Shakespeare itu: di satu adegan Hamlet memandang ke pantai Denmark, merenungkan ombak yang bergulung-gulung, dan bergumam sendiri tentang hidup atau mati, tentang arti berbuat atau tak berbuat. Ia akhirnya memilih sebuah jalan yang berarti ke kematian. Dengan kata lain, ke kejatuhan. Tragedi seperti itu tak akan terjadi dalam sebuah demokrasi, yang bisa menjadikan ?kejatuhan? sebagai sesuatu yang lazim. Tragedi itu tak akan terjadi seandainya kerutinan telah jadi kebajikan. Dan seperti sudah disinggung di atas, juga karisma tak akan dikenal. Para santo, para aulia, para superhero - mereka yang menyandang karisma itu -- adalah sosok yang datang dari situasi yang luar biasa, bukan dari kerutinan. Max Weber, (tentu saja ia selalu dikutip para ahli bila mereka berbicara tentang kepemimpinan karismatik), melihat bahwa di bawah kepemimpinan karismatik, tak ada aturan yang berlaku buat siapa saja, di mana saja, kapan saja. Hukum ?obyektif? seorang pemimpin karismatik mengalir dari pengalamannya yang sangat personal. Sebab sang pemimpin dianggap mendapatkan rahmat ilahi atau kekuatan heroik. Terutama di saat-saat ketika masyarakat haus akan harap. Karisma, tentu saja, tak berdiri sendiri. Ia mendapatkan sambutan dan pengakuan dari orang ramai yang menjadi pengikut. Sambutan dan pengakuan itu pada gilirannya membentuk satu tubuh dengan sang pemimpin, melebur diri. Orang Jawa menggambarkannya sebagai ?manunggaling kawula lan gusti? -- sesuatu yang dalam kehidupan politik sebenarnya sebuah kondisi totaliter. Dan ketika sang pemimpin menjebol dan memotong aturan yang rasional, ia pun tetap muncul tanpa dinyatakan bersalah - karena ia telah bertaut dengan ?Rakyat? yang tak bisa bersalah. Maka sebuah penyucian ganda pun berlangsung: sang pemipin dan para pengikutnya bebas dari dakwaan apa saja, termasuk kesewenang-wenangan. Dari sini tragedi pun menyiapkan diri. Korban pasti berjatuhan. Dan pada suatu saat sang pemimpin ingin berlanjut. Ia pun harus mempertahankan posisi infalibilitasnya. Pada saat yang sama ia tak bisa lepas dari orang ramai yang memujanya. Ia berangsur-angsur naik ke tempat yang paling atas. Nun dari pucuk, kejatuhan pun bukan sekedar perpindahan posisi yang biasa. Kejatuhan orang-orang yang tak pernah dianggap bersalah adalah semacam revolusi - sebuah guncangan, sebuah transformasi, dan seperti dalam banyak tragedi Shakespeare, juga sebuah proses untuk menemukan pertanyaan yang tepat tentang kekuasaan dan kesalahan, tentang apa itu hidup dan kebenaran. Goenawan Mohamad