Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Infalibilitas

Oleh

image-gnews
Iklan
Ia bisa membakar gedung kantor partai lain, atau menghancurkan rumah minum, atau merusak sekolah organisasi X, atau membumihanguskan rumah ibadat, atau membunuh dukun santet, menjarah toko, memperkosa orang Cina, merusak hutan lindung, membantai suku Anu, dan entah apa lagi. Tapi ia, seperti hanya Sri Paus, secara a priori adalah sebuah wujud yang memiliki infabilitas: ia dianggap tak bisa bersalah. Tiap kali kekerasan macam itu terjadi, akan datang dalih tentang keadilan, tentang demokrasi, atau tentang provokasi, dan semuanya pun seakan-akan tampak jadi terang. Polisi diam. Mahkamah lengang. ?Ia? adalah sebuah posisi yang disebut ?rakyat?, atau ?massa?. Ada yang mengatakan orang ramai itu tak pernah satu bentuk.Tiap ekspresi kekerasannya tak pernah bisa dianggap sama. Namun kita hidup dalam sebuah retorika yang panjang tentang populisme dan ?kedaulatan rakyat?, dan himpunan manusia itu, yang dalam hidup sehari-hari dan dalam kisah sejarah bisa tampil kongkrit, justru mendapatkan simbol, pengakuan dan kekuatannya ketika ia masuk ke dalam bahasa. Ia menjadi sebuah pengertian yang abstrak. Dalam leksikon Marxis-Leninis kata rakyat itu bahkan ditulis dengan huruf kapital di depan: ?Rakyat?. Mula-mula adalah manusia-manusia yang sudah bertahun-tahun tertindas. Darah mereka telah mengalir. Seperti termaktub dalam lagu Darah Rakyat, mereka ?menderita sakit dan miskin?. Kemudian, dari tulang yang ringsek dan jangat yang perih itu, mereka mengalami transformasi: mereka muncul dalam sebuah kata sakti dan ?menjadi hakim?. Mereka menjadi ?Ia?. Kekerasannya adalah ibarat vonis dan eksekusi sekaligus. Tapi analogi itu tentu saja tak menunjuk kejadian secara pas: seorang hakim bisa bersalah, ia bisa pusing kepala dan tekanan darahnya bisa naik, dan sebab itu si pesakitan diberi hak untuk naik banding. Tapi ketika ?Rakyat? jadi hakim, Ia tak mungkin bersalah. Ia adalah pewaris Sabda Keadilan? Tapi benarkah? Karena ?kedaulatan rakyat? lahir dari kesalahan yang terjadi ketika kesetaraan tak dianggap ada, saya selalu mengira demokrasi hanya mungkin ketika orang menolak prinsip infalibilitas pada siapa saja, termasuk Sri Paus, termasuk ?massa?. Bagi saya demokrasi adalah sebuah manajemen atas kemungkinan-kemungkinan bersalah, khususnya kemungkinan laku angkara-murka. Barangkali saya keliru. Tapi seseorang pernah mengatakan, bahwa demokrasi di Amerika Serikat bisa bertahan sampai 200 tahun lebih karena konstitusinya disusun oleh orang-orang yang syak akan sifat manusia. Ada sesuatu yang konon diperoleh dari Protestantisme dalam rasa syak itu: manusia dianggap hadir di dunia dengan ?dosa asal?. Ia sudah tergoda di surga. Ia pasti akan tergoda lagi berkali-kali di bumi. Sebab itu berlapis-lapis pagar pun disiapkan. Juga terhadap orang ramai. Rakyat banyak, demos, tetap dianggap tak lepas dari kemungkinan berbuat sewenang-wenang, terutama terhadap minoritas. Maka orang ramai juga harus dibatasi cakarnya. Hukum pun disusun, lembaga dituang. Kebajikan harus jadi rutin. Dan pada gilirannya kerutinan itu jadi kebajikan. Dalam kebajikan yang rutin itu, ?Rakyat? memang memiliki kedaulatan, tetapi tanpa karisma, juga para santo dan para aulia. Politik bukan lagi letupan, hanya tepuk tangan yang gemuruh: sebuah politik tanpa kemarahan besar. Ada yang mungkin hambar di situ, tapi juga tragedi tak ada lagi. George Steiner pernah menulis sebuah buku, The Death of Tragedy, dan ia menyimpulkan bahwa penderitaan tragis adalah ?sebuah privilese yang murung yang didapatkan oleh mereka yang berada di tempat atas?. Hamlet adalah seorang pangeran, Lear seorang raja, Oedipus anak raja yang dibuang dan kembali menjadi raja. Mereka berada di ketinggian, dan di sana angin yang paling taufan yang akan keras memukul, petir yang paling panas yang akan menghantam. Di ketinggian itu, persoalan bukan lagi hal-hal yang sehari-hari, (semua sudah dibereskan oleh sebuah staf atau sejumlah laskar), melainkan persoalan memperebutkan makna di dalam sebuah pengalaman. Lebih spesifik lagi: sebuah pengalaman yang terbentuk oleh kejatuhan. Saya ingat sebuah film indah yang dibuat orang di Rusia di tahun 1960-an berdasarkan karya Shakespeare itu: di satu adegan Hamlet memandang ke pantai Denmark, merenungkan ombak yang bergulung-gulung, dan bergumam sendiri tentang hidup atau mati, tentang arti berbuat atau tak berbuat. Ia akhirnya memilih sebuah jalan yang berarti ke kematian. Dengan kata lain, ke kejatuhan. Tragedi seperti itu tak akan terjadi dalam sebuah demokrasi, yang bisa menjadikan ?kejatuhan? sebagai sesuatu yang lazim. Tragedi itu tak akan terjadi seandainya kerutinan telah jadi kebajikan. Dan seperti sudah disinggung di atas, juga karisma tak akan dikenal. Para santo, para aulia, para superhero - mereka yang menyandang karisma itu -- adalah sosok yang datang dari situasi yang luar biasa, bukan dari kerutinan. Max Weber, (tentu saja ia selalu dikutip para ahli bila mereka berbicara tentang kepemimpinan karismatik), melihat bahwa di bawah kepemimpinan karismatik, tak ada aturan yang berlaku buat siapa saja, di mana saja, kapan saja. Hukum ?obyektif? seorang pemimpin karismatik mengalir dari pengalamannya yang sangat personal. Sebab sang pemimpin dianggap mendapatkan rahmat ilahi atau kekuatan heroik. Terutama di saat-saat ketika masyarakat haus akan harap. Karisma, tentu saja, tak berdiri sendiri. Ia mendapatkan sambutan dan pengakuan dari orang ramai yang menjadi pengikut. Sambutan dan pengakuan itu pada gilirannya membentuk satu tubuh dengan sang pemimpin, melebur diri. Orang Jawa menggambarkannya sebagai ?manunggaling kawula lan gusti? -- sesuatu yang dalam kehidupan politik sebenarnya sebuah kondisi totaliter. Dan ketika sang pemimpin menjebol dan memotong aturan yang rasional, ia pun tetap muncul tanpa dinyatakan bersalah - karena ia telah bertaut dengan ?Rakyat? yang tak bisa bersalah. Maka sebuah penyucian ganda pun berlangsung: sang pemipin dan para pengikutnya bebas dari dakwaan apa saja, termasuk kesewenang-wenangan. Dari sini tragedi pun menyiapkan diri. Korban pasti berjatuhan. Dan pada suatu saat sang pemimpin ingin berlanjut. Ia pun harus mempertahankan posisi infalibilitasnya. Pada saat yang sama ia tak bisa lepas dari orang ramai yang memujanya. Ia berangsur-angsur naik ke tempat yang paling atas. Nun dari pucuk, kejatuhan pun bukan sekedar perpindahan posisi yang biasa. Kejatuhan orang-orang yang tak pernah dianggap bersalah adalah semacam revolusi - sebuah guncangan, sebuah transformasi, dan seperti dalam banyak tragedi Shakespeare, juga sebuah proses untuk menemukan pertanyaan yang tepat tentang kekuasaan dan kesalahan, tentang apa itu hidup dan kebenaran. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

40 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

44 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

45 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.