Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mas Wir

Oleh

image-gnews
Iklan
SEORANG penulis dikuburkan tidak bersama kata-katanya. Ketika dalam usia 72 tahun Wiratmo Soekito meninggal dan dimakamkan di Karet, tak jauh dari kubur Chairil Anwar, di sore hari 14 Maret itu, saya ikut memanggul kerandanya ke liang lahad, dan saya teringat kembali dia, yang saya panggil ?Mas Wir?: seorang penulis yang hidup dengan berjuta-juta kata. Tetapi kemudian di mana kata-kata itu? Bisakah mereka berjalan dan berdiri sendiri, dan membentuk peran mereka sendiri? Saya akan selalu teringat ini: hampir kapan saja di dini hari tahun 1963, ia akan tampak di sebuah kamar sempit yang lusuh, yang sesak oleh ratusan buku, duduk mengetik di bawah bola lampu 40 watt, dengan punggung yang, meskipun agak gemuk, hampir melengkung. Ia menulis untuk surat kabar ini dan majalah itu, untuk siaran radio, untuk makalah ceramah, seakan-akan tak henti-hentinya. Pasti itu juga berlangsung sebelum tahun 1963 itu, pasti sampai akhir hayatnya di tahun 2001. Kini di mana puluhan juta kata itu? Menjelang meninggalnya, ia praktis tidak dikenal oleh mereka yang lahir sekitar tahun 1970. Kata-kata yang pernah ia tulis tampaknya beterbangan sendiri, tanpa tempat mendarat di sebuah dunia seorang pembaca. Saya tak tahu kenapa demikian. Di tahun 1960-an, Wiratmo Soekito berada hampir di tengah arena: seorang penulis yang rajin memperkenalkan fenomenologi Husserl, bicara teori sejarah Toynbee, membahas filsafat sejarah dengan menelaah Marx, menampilkan argumentasi tentang peran intelektuil dan kekuasaan, mengupas tragedi Yunani. Juga pemikiran Bung Karno. Para penulis yang lebih muda, yang tertarik ke dalam dunia pemikiran, akan membaca esai-esainya yang rumit, mencoba mengerti apa yang dikemukakannya, dan acap kali tetap bingung tapi kagum. Puncaknya ialah ketika ia merumuskan Manifes Kebudayaan, sebuah pernyataan para seniman dan intelektuil Indonesia yang mencoba memilih jalan sendiri untuk mengambil peran dalam ?revolusi??dan dilarang oleh Presiden Sukarno di tahun 1964, sehingga para seniman yang mendukungnya pun dibungkam. Saya tak tahu kenapa sekarang Mas Wir tak mengambil peran di pusat lagi. Harus diakui, Wiratmo acap kali dicemooh karena ?keruwetan? argumentasinya. Tapi mereka yang pernah dekat dengan Mas Wir, seperti saya, misalnya, tahu bahwa ada pengertian yang konsisten, terutama dalam istilah inti dalam pemikirannya, yakni ?sejarah?, ?kebudayaan?, dan ?revolusi?. Ketiga-tiganya bergerak karena dorongan kreatif manusia. Di baris depan dorongan kreatif itu berdiri apa yang disebutnya sebagai para ?empu?. Wiratmo hampir tak pernah berhenti-hentinya 40 tahun yang lalu membahas peran para ?empu?, yakni kaum intelektuil. Ada para penulis yang menertawakan kesibukannya dengan ?intelektuil? itu. Tapi bagi Mas Wir, ?intelektuil? hanyalah sebuah tugas: berada di baris depan sejarah. ?Intelektuil? adalah sebuah pengabdian. Ia bukan semata-mata sebuah peran pemikiran. Saya ingat ia pernah mengutip seorang inteligensia Rus yang bepergian ke pedalaman dan menangis menyaksikan penderitaan manusia: bagi Mas Wir, tangis itu adalah satu unsur pokok dalam posisi yang diambil seorang intelektuil. Meskipun gaya tulisan Wiratmo datar dan tanpa emosi, pandangannya tentang dunia intelektuil tak jauh berbeda dari tradisi yang telah ada di Indonesia sejak tahun 1920-an: seorang penulis yang melibatkan diri dalam sebuah perjuangan. Tapi politik yang diambilnya bukanlah politik ke arah kekuasaan. Mas Wir sering menyamakan pergulatan itu dengan jerih Sisyphus. Sisyphus dikutuk dewa-dewa agar mengangkat batu ke puncak bukit dan sesampai di puncak, batu itu akan jatuh kembali untuk harus diangkatnya lagi. Maka seorang intelektuil bukan berada di takhta dunia, tapi selalu di luarnya. Ia datang ke pintu gerbang sebuah kota yang kukuh dan pongah, dan meneriakkan teguran, seperti para nabi di zaman lama, tapi tak hendak menaklukkan kota itu di bawah telapak kakinya. Dalam posisi itu, memang mudah untuk dikalahkan?atau ditelikung?oleh para pemain kekuasaan yang lebih pintar. Di tahun 1964, ketika para penanda tangan Manifes Kebudayaan dituduh ?kontrarevolusioner? dan hampir tiap hari diganyang untuk ?dibabat? oleh gerakan yang mendukung PKI, Bung Karno, dan ?Revolusi?, Wiratmo pun didekati dan mendekati kalangan militer. Saya tak tahu persis seberapa jauh ia diperalat. Saya dan teman-teman hanya menyaksikannya dengan cemas bahwa ia makin asyik dengan informasi-informasi politik yang mengesankan bahwa ia sudah jadi ?orang dalam?, tapi menurut saya tak meyakinkan. Ia lebih bersifat nave ketimbang oportunistis. Sebab yang saya ingat, dan akan selalu saya ingat, adalah hidup Mas Wir: sebuah variasi dari tema pengabdian. Mungkin puluhan juta kata yang pernah diproduksinya tak mendarat lagi ke mana pun, tapi mereka telah membentuk peran sendiri: sebagai bagian dari hidup si penulis. Ia tinggal di sebuah kamar di sudut Jalan Cilosari, Jakarta (kini sudah tidak ada lagi), ia tak punya apa-apa selain ratusan buku dan sebuah mesin ketik Remington tua. Kadang-kadang tempat tidurnya yang apak diberikannya kepada saya, yang menginap, dan ia akan terbujur di tikar sampai pagi. Ia tak pernah mengeluh atau membanggakan cara hidup ini, dan terus menulis berpuluh-puluh kata tiap malam. Ia akan selalu pergi siaran ke stasiun Radio Republik Indonesia di Jalan Merdeka Barat, kalau perlu dengan meminjam sepeda temannya dan menempuh hujan. Ia tak pernah meminta. Kalau bisa, ia akan memberi. Ia tak hendak mencari hidup yang lebih enak. Ia misalnya mengecam mereka yang meninggalkan Indonesia dalam keadaan yang paling sulit (ia selalu mengambil contoh Socrates yang tak hendak meninggalkan kota meskipun dihukum minum racun). ?Tanah air? dan ?Indonesia? adalah sebuah definisi kerja untuk pengabdian. Dalam hal Mas Wir, seorang intelektuil dikuburkan, mungkin akan dilupakan, tapi pengabdiannya tidak. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

45 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.