Mengeluarkan siswa dari sekolah karena kenakalannya tidak hanya melanggar hak anak mendapat pendidikan, tapi juga bukan sanksi yang tepat. Hukuman itu hanya memindahkan kenakalan sang siswa dari satu sekolah ke sekolah lain tatkala mereka dipecat. Munculnya kenakalan para siswa justru menumbuhkan pertanyaan sejauh mana kemampuan sekolah itu mendidik murid-muridnya.
Dua pekan lalu, Sekolah Menengah Atas Negeri 46 Jakarta mengeluarkan 35 siswanya setelah mereka membajak bus rute Blok M-Pondok Labu untuk dipakai menyerbu pelajar dari sekolah lain. Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mendukung tindakan tegas sekolah ini karena aksi pembajakan bus sudah masuk ranah kriminal.
Bagi Wakil Gubernur, pembajakan itu tak hanya merugikan orang lain, tapi juga sudah melampaui batas kenakalan remaja. Tidak hanya mengecam, Basuki bahkan memerintahkan Dinas Pendidikan Jakarta untuk tidak ragu memberi sanksi tegas kepada pelajar yang bertindak anarkistis.
Pandangan Basuki sekilas benar. Pendapat itu mencerminkan kemuakan dan kejengkelan terhadap kebandelan para pelajar yang terus terjadi. Suara Basuki mewakili kejengkelan publik yang kerap terganggu karena jalanan macet akibat tawuran pelajar. Selain itu, sudah terlalu banyak korban akibat adu jotos sesama siswa, termasuk korban meninggal.
Sayangnya, pendapat ini mengabaikan hak-hak dasar setiap anak yang dijamin konstitusi. Sebab, sekolah adalah tempat pendidikan, bukan arena penghukuman. Dalam dalil pedagogik, sanksi dan hukuman harus mengandung unsur pendidikan sekaligus efek jera. Bagi Basuki dan pengelola sekolah, pemecatan itu mungkin akan memberi efek jera. Kenyataannya meskipun sudah banyak siswa dipecat karena nakal, toh tawuran pelajar tak berhenti juga.
Solusinya jelas bukan pada seberapa berat hukuman bagi anak-anak nakal itu. Tawuran sudah ada sejak siswa Jakarta naik bus tingkat pada 1980-an. Mereka yang mati sia-sia juga tak sedikit akibat ulah konyol sok jagoan ini. Dan terbukti tak ada efek jera.
Tawuran dan kenakalan siswa menunjukkan ada yang salah dengan sistem pendidikan dan perilaku panutan yang hidup di masyarakat kita. Bagaimana pelajar tak tawuran jika setiap hari di televisi kita menyaksikan para orang tua adu mulut saling ejek tak lagi mempedulikan tata kesopanan. Bagaimana para siswa tak menyelesaikan problem dengan adu pukul jika di parlemen perbedaan pendapat diselesaikan dengan saling memaki.
Kurikulum sekolah juga bisa jadi penyebabnya. Kenakalan keterlaluan terjadi karena sejak awal siswa tak diajari mengasah logika dan budi pekerti. Pendidikan kita lebih menekankan pada hafalan tanpa menanamkan cara berpikir sebab-akibat dari sebuah kejadian. Pendidikan kita hanya menargetkan kelulusan tanpa mempedulikan kualitasnya.
Memecat siswa nakal adalah cara instan memberi efek jera yang tak mendidik. Kenakalan siswa hanya akibat. Penyebabnya adalah sistem pendidikan yang justru tak mendidik. Ini memang pekerjaan besar kita mengubah sekolah bukan lagi penjara bagi siswa, melainkan-seperti kata penyair India, Rabindranath Tagore-taman kebebasan merengkuh pengetahuan.