Meski terlambat, langkah Pemerintah Kabupaten Bogor membongkar puluhan vila di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, harus didukung. Ini sebuah kemajuan yang amat berarti karena tahun-tahun sebelumnya mereka tak berdaya. Hingga akhir tahun ini, Kabupaten Bogor berencana merobohkan 239 vila yang berdiri di tanah negara itu.
Langkah tegas ini semestinya tidak hanya mengincar vila-vila liar milik orang "biasa". Vila milik jenderal, pejabat, dan pesohor di negeri ini juga mesti disikat jika menyalahi aturan. Sebut saja vila milik Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, mantan Panglima Daerah Militer II Siliwangi Iwan Sulanjana, dan penyanyi Ahmad Albar, yang berada di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai Cisadane di dalam Taman Nasional Gunung Halimun. Ada juga kepunyaan Rizal Mallarangeng serta bekas Menteri Negara Koperasi dan UKM Zarkasih Nur. Tempo pernah menulis laporan investigasi soal ini, beberapa waktu yang lalu.
Pembersihan kawasan hutan lindung di kawasan Puncak ini amat mendesak dilakukan. Banjir besar yang rutin merendam Jakarta dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan kawasan Puncak yang gundul sebagai salah satu hulu masalah. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo tak bisa mengatasi banjir tanpa bantuan tetangga, yakni Kabupaten Bogor. Kala hutan disulap menjadi belantara beton, air hujan yang turun dari langit di kawasan Bogor sangat sedikit yang terserap tanah. Lalu, limpasan air menyerbu kali, mencari daerah yang lebih rendah, dan mengalir sampai ke Jakarta. Maka, upaya mengembalikan Puncak sesuai dengan peruntukannya sebagai daerah resapan air wajib hukumnya.
Para pemangku wilayah di Bogor dan Jakarta pasti tahu soal itu. Masalahnya, selama ini mereka seperti tak berdaya mengantisipasi pertumbuhan vila-vila di daerah itu. Makin hari, makin rapat saja vila yang berdiri di sana, sampai-sampai menjarah tempat tertinggi, misalnya Desa Tugu Utara.
Sepertinya peraturan tak berlaku di atas sana: ratusan bungalow di lahan bekas hutan yang dibabat. Keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 1999 dan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor yang mengatur tata ruang kawasan itu dianggap angin lalu. Pemerintah Bogor pada 2010 pernah hendak membongkar vila-vila di Lokapurna, kawasan hutan lindung di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Upaya itu gagal karena tekanan orang-orang yang punya kuasa.
Kini, pemerintah Bogor mulai unjuk gigi. Mereka membongkar vila-vila di sekitar kebun teh. Mereka berupaya sungguh-sungguh menegakkan rencana umum tata ruang (RUTR). Langkah itu semestinya didukung oleh instansi lain, seperti Kementerian Kehutanan.
Harus ada keberanian mengembalikan hutan di tanah itu. Tidak cukup hanya dengan merobohkan vila-vila di sana, mereka juga harus memberikan sanksi berat kepada pemiliknya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sudah mengatur sanksi bagi setiap pelanggaran. Ancamannya hukuman penjara maksimal 10 tahun. Tanpa sikap tegas, peraturan hanya menjadi mainan orang-orang yang berkuasa. Buntutnya, jutaan orang menderita, kembali didera banjir.