Mereka yang terlalu mudah iba hati pada pengemis jalanan kini mesti lebih terbuka pikirannya setelah mendengar kisah Walang dan Saaran. Dua pengemis tua ini tertangkap di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, oleh petugas Suku Dinas Sosial Jakarta. Dari mereka, disita hasil mengemis, yaitu uang sebesar Rp 25 juta. Tumpukan uang lusuh itu mereka kumpulkan dari mengemis selama dua minggu. Kisah nyata ini semestinya membuka pikiran kita bahwa pengemis tak harus dikasihani. Masyarakat juga mesti paham bahwa memberikan uang kepada pengemis adalah melanggar hukum.
Kisah perolehan uang mengemis sebesar gaji sebulan eksekutif perusahaan menengah itu sebetulnya tidak mengejutkan. Tahun lalu, Dinas Sosial Jakarta pernah mendata jumlah perolehan pengemis di lampu-lampu lalu lintas. Hasilnya, seorang pengemis bisa mendapatkan uang Rp 150 ribu hingga Rp 700 ribu sehari. Petugas bahkan ada yang membuntuti para pengemis itu hingga ke kampungnya di Jawa Barat. Di sana, banyak di antara pengemis itu ternyata memiliki rumah permanen, sawah, atau kebun.
Jelaslah bahwa mengemis pekerjaan menggiurkan. Tidak seperti yang banyak dibayangkan orang, mengemis bukan lagi cara mendapatkan recehan demi bertahan hidup di kota. Ini pekerjaan mudah dengan hasil besar ketimbang menjadi kuli. Tak mengherankan jika banyak yang menjadi organisator pengemis. Mereka menjemput pengemis dari kampungnya, mengerahkannya ke Jakarta, lalu menerima setoran dari hasil mengemis.
Sebetulnya pemerintah Jakarta sudah dibekali aturan yang cukup keras untuk memberantas para pengemis itu. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum menyebutkan pengemis ataupun pemberi uang bisa dihukum. Ancaman bagi mereka cukup tinggi, kurungan hingga 60 hari dan denda sampai Rp 20 juta. Namun semua ini hampir tak ada artinya karena razia pengemis tak berlangsung kontinu.
Masyarakat pun ikut mempersulit pemberantasan. Dengan alasan tidak tega, atau karena merasa harus menjalankan niat berbagi dengan kaum duafa, mereka tetap memberi uang. Seolah tercipta simbiosis antara yang merasa harus berbagi dan pengemis yang tahu persis mudahnya memancing rasa iba masyarakat.
Simbiosis itulah yang semestinya diputus. Merazia pengemis, mengumpulkannya di panti-panti sosial, lalu memulangkannya tak akan efektif. Membina mereka untuk menjalani pekerjaan lain pun akan percuma. Mereka tahu persis bahwa mengemis jauh lebih banyak menghasilkan uang. Begitu dipulangkan ke kampungnya, tak lama kemudian mereka muncul kembali di Jakarta. Jumlah aparat ketertiban umum pun terbatas untuk menangani pengemis di Jakarta, yang saat ini mencapai 20 ribu orang lebih.
Semestinya kisah duet "pengemis kaya" Walang dan Saaran ini digunakan sebagai momentum untuk mensosialisasi larangan memberikan uang kepada pengemis. Sosialisasi seperti ini jarang dilakukan. Padahal banyak orang tidak tahu bahwa "bederma" kepada pengemis adalah melanggar peraturan. Sosialisasi melalui penempelan isi perda larangan mengemis dan memberikan uang di pinggir-pinggir jalan saja tak cukup. Akan lebih efektif bila pemerintah melakukan sosialisasi dengan berbagai iklan layanan masyarakat melalui media massa.
Memberi efek jera pun mesti dilakukan. Sudah saatnya perda itu ditegakkan dengan mendenda pemberi uang kepada pengemis. Masyarakat harus sadar, ketimbang memberikan uang kepada pengemis, lebih baik menyalurkan uangnya ke panti-panti sosial.