Pemerintah semestinya malu melihat Bank Indonesia pontang-panting mempertahankan nilai rupiah. Hari-hari ini nilai tukar rupiah tertekan akibat beban utang luar negeri swasta, dan impor bahan bakar minyak, serta penguatan dolar Amerika. Tekanan tidak sehebat sekarang andaikata pemerintah mampu mengendalikan impor BBM dan inflasi.
Kebijakan BI sudah memadai. Suku bunga acuan dari 5,75 persen pada Mei dinaikkan menjadi 7,5 persen pada November lalu. Bank sentral juga menguras cadangan devisa, dari US$ 112 miliar pada 2012 menjadi US$ 97 miliar pada akhir Oktober lalu. Tapi berbagai langkah itu belum cukup. BI memerlukan sokongan pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah.
Dua hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah memangkas inflasi, serta mengurangi impor minyak mentah dan BBM. Inflasi tahunan pada November tetap tinggi, yakni 8,37 persen. Ketersediaan pasokan dan distribusi masih jadi masalah. Faktor cuaca pada akhir tahun juga patut diwaspadai. Inflasi dipastikan lebih tinggi daripada patokan APBN sebesar 7,2 persen.
Menurunkan inflasi penting agar bank sentral bisa mengerem kenaikan suku bunga acuan. Kenaikan BI Rate memang harus dilakukan untuk menahan orang berbelanja lantaran suku bunga bank tak lagi menarik. Namun tingginya suku bunga juga akan memberatkan para debitor karena beban cicilan meningkat dan hanya menguntungkan pemilik uang besar.
Penurunan impor minyak dan BBM juga mendesak. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa impor minyak dan BBM pada Januari-Oktober 2013 mencapai US$ 34,6 miliar, naik 7 persen dibanding tahun lalu. Tapi, yang lebih berbahaya, defisit neraca minyak dan BBM pada periode ini naik lebih tinggi, 21,4 persen, menjadi US$ 22,5 miliar.
Tingginya impor minyak didorong oleh konsumsi BBM yang naik luar biasa. Pada 2002, konsumsi BBM kita masih 63,7 juta kiloliter, sedangkan tahun lalu sudah mencapai 71,7 juta kiloliter. Padahal produksi minyak dalam negeri stagnan dan kilang kita amat terbatas. Negeri ini terakhir kali membangun kilang pada 20 tahun silam. Akibatnya, kita juga harus mengimpor BBM.
Dalam situasi seperti itu, pilihan paling rasional adalah menekan konsumsi BBM. Jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mau berpikir sederhana, solusinya adalah menaikkan lagi harga BBM bersubsidi. Banyak pihak mengusulkan kenaikan bertahap dengan jumlah kecil dalam jangka waktu tertentu. Usul ini pernah dilontarkan sebelum pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada 22 Juni lalu, tapi ditolak. Setelah menimbang berlama-lama, pemerintah memilih menaikkan langsung Rp 2.000 per liter.
Langkah yang berliku-liku sekaligus terlambat itu berdampak buruk. Efek inflasi muncul dua kali: inflasi sesaat setelah kebijakan diumumkan, dan efek inflasi yang sudah terjadi ketika pemerintah sibuk mendiskusikan rencana kenaikan harga BBM. Kini ditunggu langkah pemerintah yang cepat dan sederhana untuk menyelamatkan perekonomian.