Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Gus

Oleh

image-gnews
Iklan
-- untuk Abdurrahman Wahid. Seandainya aku berada di tempatmu, Gus, akan kubersihkan meja itu dan berjalan ke arah pintu. Aku akan keluar dari kursi itu. Seperti Oedipus yang buta keluar dari takhta dan Kota Thebes. Mungkin sekali Oedipus gentar. Dengan biji mata yang masih meneteskan darah karena ia tusuk sendiri, ia tak akan tahu nasib yang menghadangnya setelah itu. Mungkin sekali Oedipus getir. Apakah salahnya, sebenarnya? Dewa-dewa telah menakdirkannya untuk membunuh ayah kandungnya dan menikahi ibunya sendiri. Dengan kata lain, kesalahan itu bukan niatnya. Bahkan ia telah mencoba mengelak dari takdir itu. Tapi dewa-dewa berkuasa, dan takdir adalah keniscayaan yang, seperti lembing, tajam dan tegar: sesuatu yang tak bisa dibengkokkan, sesuatu yang menghunjam jauh ke dalam hidup. Maka, ia pun melakukan dosa itu, dan ia membuat Thebes dikutuk. Agar Thebes pulih dari wabah dan kutukan, ia, sang raja, harus membuang si pendosa?dirinya sendiri. Tapi apa yang diperoleh Oedipus setelah itu? Bukan pahala. Bukan surga. Tragedi Yunani berbeda dengan kisah-kisah agama samawi yang dimulai dengan Alkitab. Dalam cerita Ayub yang menderita karena diuji Tuhan, ada akhir yang menyejukkan hati: setelah bertahun-tahun nestapa, orang yang tawakal itu mendapatkan balasan yang berlipat-lipat. Dengan kata lain, seperti kata seorang penulis, "Tuhan itu adil, bahkan dalam murka-Nya." Sementara itu, dalam tragedi Yunani, keadilan dewa-dewa?yang menyajikan anugerah bagi mereka yang ikhlas & tabah?adalah sebuah pengertian yang asing. Berbeda dari Ayub, Oedipus akhirnya hanya terlunta-lunta sebagai pengemis dengan mata yang hancur. Ia tak memperoleh kembali penglihatannya. Ia tetap kehilangan mahkotanya. "Tragedy is irrepairable," kata George Steiner, yang uraiannya saya pinjam untuk paragraf-paragraf ini. Namun, dalam kepedihannya, Oedipus ibarat sekilau cahaya biru dalam kegelapan yang panjang. Tak berkuasa, dan dalam keadaan remuk-redam mengembara dari pal ke pal, ia membersitkan sebuah grandeur. Yang kita saksikan adalah sebuah kebesaran watak. Untuk mengutip Steiner pula, ia justru "jadi luhur karena dengki dewa-dewa yang mendendam". Dengki dewa-dewa itu tak membuatnya bersih dari dosa, tetapi memberinya aura tertentu: seakan-akan ia telah melampaui panasnya api, sakitnya siksaan. Seandainya aku berada di tempatmu, Gus, aku akan menirukan Oedipus bukan karena tragedi adalah sesuatu yang bisa aku pilih. Juga bukan karena aku kenes dan ingin jadi sosok yang, di atas pentas, bersinar suci. Aku akan berberes, aku akan pergi dari istana, karena dewasa ini, justru dalam sebuah demokrasi, manusia harus jadi sesuatu yang lebih berarti ketimbang sekadar sebuah angka. Sebab, demokrasi adalah sebuah paradoks. Di satu pihak ia mengandalkan diri pada manusia sebagai individu yang bebas, yang bisa memilih dan bersuara. Namun, di lain pihak, demokrasi pula yang memperlakukan individu hanya sebagai titik dalam sebuah jumlah, ketika hasil pemungutan suara dihitung dan keputusan yang amat penting diambil. Dalam keadaan itu, manusia yang utuh pun terasa hilang. Dalam keadaan itu pula, kita harus terpanggil untuk memulihkan kembali "singularitas" orang seorang. Hanya dengan perbuatan yang luar biasa kita bisa menebus apa yang tenggelam dalam paradoks demokrasi. "Luar biasa". Salah satu kekurangan demokrasi terletak dalam kecenderungannya untuk menampik yang "luar biasa". Yang jadi taruhan adalah yang di tengah-tengah, yang rata-rata, yang "normal". Maka proses politik pun mau tak mau hanya akan memilih perahu yang berlayar kalem; mendayung cepat adalah sesuatu yang tak dikehendaki. Pembaharuan akan berjalan seperti siput, posisi konservatif akan jadi norma. Sebuah negeri yang membutuhkan tindakan yang nekat untuk menjebol keadaan buntu akhirnya sering memerlukan proses yang lain. Anwar Sadat, yang mendadak memutuskan berdamai dengan Israel?dan memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian karena itu?bukanlah seorang presiden Mesir yang demokratis. Juga Gorbachev yang membiarkan Tembok Berlin runtuh. Tapi kita tahu, yang "luar biasa" juga bisa berupa seorang pemimpi gila, seorang Caligula yang ingin memiliki bulan dan membunuh banyak orang. Sebab itulah, Gus, sebuah laku yang "luar biasa" perlu disertai dengan sesuatu yang lain: dengan membuat kekuasaan tak lagi relevan. Kekuasaan adalah seperti dewa yang dengki, yang tak ingin melihat manusia bebas dari cakar dan bujuknya. Kita ingat King Lear: Shakespeare bercerita tentang raja yang, seperti Oedipus, juga meninggalkan istana. Tapi ia pergi dengan rasa jengkel. Lear mendadak menyerahkan tampuk kerajaan kepada kedua putrinya yang, seperti kata baginda sendiri, rakus bagaikan burung pelikan. Dan ia pun mengembara di padang liar. Tapi kekuasaan masih memburunya: ia masih menyesali takhtanya yang hilang, dan para penggantinya masih menganggapnya sebagai ancaman. Adegan yang menyentuh dalam King Lear ialah ketika kita menyaksikan bagaimana raja tua yang jadi gelandangan itu berubah ingatan. Pada akhirnya ia ditangkap. Pada akhirnya ia melihat putrinya yang bungsu, yang dipenjarakan bersamanya, meninggal. Dewa-dewa, seperti diucapkan seorang tokoh dalam tragedi ini, telah mempermainkan hidup manusia bagaikan anak berandal membunuh lalat. Bila kekuasaan sedemikian dahsyatnya, Gus, tak mengherankan bila banyak orang, juga engkau, terpukau. Tapi justru karena itu saya takut. Seandainya saya engkau, saya akan lebih suka pergi, menjauh. Nanti, ketika ajal tiba, seperti Oedipus dalam Antigone, semoga bahkan jasad kita pun masih bisa jadi batas di mana kekuasaan tak bisa seenaknya mencengkeram, tak bisa seenaknya bersabda. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

3 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Kilas Balik 23 Tahun Lalu Presiden Gus Dur Tetapkan Hari Raya Imlek Sebagai Hari Libur

15 hari lalu

Duduk dari kiri ke kanan: Sri Sultan Hamengkubuwono X, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati dan Amien Rais pada momentum Deklarasi Ciganjur, kediaman Gus Dur, 10 November 1998. (Repro buku Gerak dan Langkah)
Kilas Balik 23 Tahun Lalu Presiden Gus Dur Tetapkan Hari Raya Imlek Sebagai Hari Libur

Keputusan 23 tahun lalu ini merupakan sebuah keputusan revolusioner Gus Dur mengingat di Orde Baru, perayaan Imlek di tempat-tempat umum dilarang.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

44 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

49 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

49 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Mengenang Gus Dur: Berikut Profil, Pemikiran, hingga Prosesi Pemakamannya

1 Januari 2024

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. dok. TEMPO
Mengenang Gus Dur: Berikut Profil, Pemikiran, hingga Prosesi Pemakamannya

Genap 14 tahun kepergian Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Berikut kilas balik profil dan perjalanannya sebagai ulama dan presiden ke-4 RI.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.