Sikap Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang meminta pengelola Plaza Semanggi segera membuat jalur alternatif masuk pusat belanja itu sudah tepat. Selama ini satu jalur di Jalan Gatot Soebroto dari arah Slipi di depan Plaza Semanggi yang dipakai untuk akses ke mal mengakibatkan kemacetan, terutama pada jam pulang kantor sejak sore sampai malam hari.
Bagaimanapun tindakan "mengambil" separuh jalan publik dan menjadikannya jalur privat sebagaimana yang dilakukan pengelola Plaza Semanggi tak bisa dibenarkan. Tak cuma membuat macet, sikap egoistis mereka itu juga telah mengangkangi hak publik atas sebagian ruas jalan tersebut.
Pada dasarnya, peraturan sudah membebani setiap pengembang dengan kewajiban tertentu manakala mereka membangun gedung baru. Ini bisa berkaitan dengan aspek lingkungan, sosial, transportasi, pengolahan limbah, bergantung pada letak bangunan, luas, serta fungsinya. Salah satu kewajiban pengembang mal adalah membuat jalan masuk sendiri agar tidak membebani jalur publik.
Tapi di Jakarta yang terjadi sebaliknya, banyak mal malah mengklaim jalur umum untuk akses mereka. Selain Plaza Semanggi, menurut Ahok, kasus serupa terjadi di Citraland dan Mal Taman Anggrek. Hotel Aryaduta dan Shangri-La melakukan hal yang sama, tapi beberapa waktu lalu akses khusus yang mengklaim jalur umum secara ilegal tersebut telah dibongkar.
Pengelola sejatinya mengerti bahwa mereka salah. Cuma mereka cuek karena pemerintah kota sebelum ini lemah. Plaza Semanggi dibangun pada masa gubernur Fauzi Bowo. Mereka bahkan tidak menggubris peringatan dari pemerintah kota. Ketika Dinas Perhubungan serta Polda Metro menutup jalur masuk ke plaza itu pada 2010 dan 2011, mereka membuka kembali, dan dibiarkan.
Karena itu, pernyataan Ahok bahwa dia akan mencabut izin Plaza Semanggi jika tak segera membangun jalan masuk sendiri merupakan kemajuan. Pedagang kecil, pedagang besar, atau konglomerat, kalau melanggar aturan dan melanggar hak publik atas fasilitas umum, ya harus ditertibkan.
Pemerintah DKI sebaiknya juga segera mengatur pemanfaatan jalur publik di bangunan-bangunan lain. Misalnya, di Jakarta banyak sekolah tidak memiliki lahan parkir. Akibatnya, para pengantar, penunggu, atau penjemput memarkir mobil-sepeda motornya di trotoar dan jalan, sehingga menyebabkan antrean kendaraan yang mengular, terutama pada jam masuk dan jam pulang sekolah.
Juga banyak perkantoran, yang karena lahan parkirnya terbatas, mengklaim trotoar dan sebagian ruas jalan sebagai tempat parkir sepeda motor dan mobil karyawannya. Di jalan-jalan yang lebih kecil, tak sedikit pemilik mobil yang tidak memiliki garasi di rumahnya dengan seenaknya memarkir mobil di jalan depan rumahnya.
Tidak hanya menyebabkan macet, tindakan ini juga membahayakan pejalan kaki karena mereka terpaksa berjalan di jalur kendaraan. Bahkan tidak jarang, pengendara sepeda motor memangsa trotoar karena jalan utama macet. Pemerintah kota seharusnya memperluas penertiban atas pemanfaatan jalan umum secara ilegal ini dan tak berhenti hanya di Semanggi.