Tragedi Fikri Dolasmantya Surya menambah panjang daftar korban perpeloncoan. Mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang ini diduga disiksa oleh seniornya hingga meninggal. Pemerintah, yang telah lama menghapus kegiatan perpeloncoan, semestinya bertindak tegas terhadap perguruan yang melanggar.
Kematian mahasiswa 20 tahun itu baru mencuat belakangan setelah foto penyiksaan tersebut beredar di Twitter dan Facebook. Fikri meninggal saat menjalani perpeloncoan di Gua Cina, Kabupaten Malang, pada 9 sampai 13 Oktober lalu. Kondisi tubuh korban amat mengenaskan. Matanya penuh darah dan lidahnya tergigit. Menurut versi para seniornya, Fikri kelelahan. Katanya, ia ambruk saat menanam bakau dan meninggal ketika dibawa ke puskesmas.
Penjelasan itu berbeda dengan pengakuan rekan-rekan Fikri. Menurut mereka, korban meninggal setelah disiksa secara maraton. Bersama rekan-rekannya, ia diinjak-injak saat push-up dan diwajibkan makan dengan tangan penuh debu, dan berbagi sebotol air minum untuk sekitar 100 mahasiswa. Mereka juga dipaksa oleh seniornya menirukan adegan dalam film-film syur.
Pengelola ITN Malang seakan tidak mengambil pelajaran dari sederet kasus serupa sebelumnya. Sepanjang tahun ini, beberapa anak muda meninggal karena perpeloncoan. Di antaranya adalah Anindya Ayu Puspita, siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Bantul; dan David Richard Djumaati, mahasiswa Akademi Ilmu Pelayaran Djadajat.
Pemerintah semestinya bertindak lebih tegas memberangus kegiatan perpeloncoan. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 38 Tahun 2000 yang melarang perpeloncoan terbukti tak manjur. Aturan itu seperti senapan tanpa peluru karena tak mencantumkan sanksi. Walhasil, kegiatan yang penuh mudarat itu masih menjamur.
Program orientasi atau pengenalan cara belajar di kampus sebenarnya wajar saja dilakukan. Mahasiswa baru butuh beradaptasi terhadap cara belajar baru, bagaimana berinteraksi dengan dosen pengajar, atau mencari bahan di perpustakaan. Masalahnya, program orientasi ini sering dijadikan ajang balas dendam para seniornya.
Mahasiswa senior juga kerap memperlakukan mahasiswa baru sebagai obyek penderita. Mereka mencekoki mahasiswa baru dengan kegiatan yang tak berkaitan dengan proses belajar. Menirukan adegan film porno, misalnya, jelas bukan aktivitas yang mendidik. Program orientasi model inilah yang semestinya dilarang total.
Pemerintah harus merevisi aturan tersebut dan mencantumkan sanksi yang keras. Jika melakukan kegiatan pengenalan kampus yang menyimpang, perguruan tinggi mesti diberi sanksi administratif. Misalnya, status akreditasi perguruan tinggi itu diturunkan peringkatnya. Dengan cara ini, rektor akan lebih serius mengawasi program pengenalan kampus.
Jangan lupa, hukum harus ditegakkan. Polisi harus mengusut tuntas tragedi Fikri. Siapa pun yang bersalah semestinya mendapat ganjaran setimpal.