Dalam politik, memaksakan ego terbukti mendatangkan lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Berlarut-larutnya rusuh politik di Mesir dan Thailand menjadi pelajaran berharga.
Di Mesir, Muhammad Mursi dulu merupakan presiden pilihan rakyat. Dia mendapat dukungan luas setelah rezim otoriter Husni Mubarak jatuh. Namun dia segera terdepak ke luar gelanggang gara-gara memaksakan diri mengukuhkan simbol-simbol kelompoknya, Al-Ikhwan al-Muslimun. Langkah Mursi membuat militer, musuh bebuyutan Al-Ikhwan, mendapat legitimasi buat melancarkan kudeta. Mesir akhirnya terseret ke dalam kubangan perang saudara.
Di Thailand, pemerintah Perdana Menteri Yingluck Shinawatra juga bernasib sama. Perdana menteri cantik itu memaksakan ide rancangan undang-undang amnesti, berisi pengampunan bagi mereka yang terlibat dalam aneka pelanggaran peraturan sepanjang 2004 sampai 2010. Kalangan oposisi, gabungan dari Partai Demokrat dan kelompok anti-eks Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, membaca ada "udang" di balik ide tersebut. Langkah itu dinilai sebagai "pengampunan bagi Thaksin". Maka, ribuan orang berdemonstrasi memenuhi jalan-jalan Bangkok. Kantor polisi dan perusahaan BUMN lumpuh.
Rancangan undang-undang itu sebenarnya sudah ditolak oleh parlemen. Tapi gagasan Yingluck lekas menjadi blunder politik dan membangunkan macan tidur: kelompok anti-Thaksin. Mereka pun menuntut pengunduran diri Perdana Menteri. Yingluck, yang sebenarnya mendapat dukungan kuat dari masyarakat di pedesaan dan kelas bawah, tak berkutik menghadapi unjuk rasa. Perekonomian di negeri itu sudah tiga minggu ini mati suri.
Seperti halnya kudeta di Mesir, tindakan kelompok anti-Thaksin yang telah dua kali gagal memenangi pemilu di negeri itu semestinya tak bisa ditenggang. Tuntutan mundur itu bukan langkah demokratis. Mereka sedang memaksakan kehendak, meski berdalih ingin menyelamatkan Thailand dari tangan-tangan kotor Thaksin.
Perdana Menteri Yingluck Shinawatra mungkin saja merupakan kepanjangan tangan Thaksin Shinawatra, saudara laki-lakinya yang kini berada di tempat pelariannya di Dubai. Namun, dengan dukungan 60 persen pemilih dalam pemilihan yang lalu, Yingluck tetaplah memiliki legitimasi sebagai kepala negara sampai masa kepemimpinannya berakhir.
Dunia khawatir, jika kelompok Kaus Kuning atawa kelompok anti-Thaksin terus memaksakan keinginan menggulingkan Yingluck, Negeri Gajah Putih itu akan jatuh ke jurang perang saudara seperti Mesir. Pertentangan antara kelompok anti dan pendukung Thaksin akan memanas dan menjadi bentuk pertentangan kelas-antara kelas menengah dan kelas bawah. Thailand seharusnya belajar dari kasus Mesir.
Tidak setuju dengan kebijakan kepala negara tak boleh diselesaikan dengan adu jotos. Mereka harus sabar menunggu pemilu berikutnya untuk menggulingkan Yingluck secara legal. Menghadapi semua ini, kedua kelompok semestinya mengambil sebuah jeda, mengurangi ketegangan. Terlalu mahal ongkos politik yang harus ditanggung jika semua diselesaikan dengan kudeta. Pemimpin politik rugi, rakyat lebih rugi lagi.