Langkah para penghulu di Jawa Timur seharusnya mendapatkan apresiasi dari Kementerian Agama dan masyarakat. Keputusan para penghulu untuk menikahkan calon pengantin hanya pada hari kerja dan di Kantor Urusan Agama (KUA) sangat tepat. Dengan keputusan itu, mereka dengan sukarela menghapuskan perkara yang bersifat "meragukan".
Pemicunya adalah penghulu Romli, Kepala KUA Kecamatan Kota Kediri, Jawa Timur. Ia dituduh melakukan korupsi dengan memungut biaya nikah di atas tarif pemerintah sebesar Rp 30 ribu per pernikahan. Sejak itulah para penghulu se-Jawa Timur menjalankan aksi solidaritas dengan tidak melayani permintaan menikahkan pasangan di luar kantor dan di luar jam kerja.
Bagi para penghulu, menerima uang pemberian dari keluarga pengantin bukan tergolong gratifikasi. Toh, sebagian besar dari mereka tidak pernah menyebutkan besaran tarif. Apalagi KUA memang tidak menganggarkan biaya transportasi buat penghulu yang menikahkan pasangan di luar kantor atau di luar jam kerja. Tradisi ini sudah berjalan puluhan tahun dan dibiarkan saja alias dianggap sah.
Aksi solidaritas itu kontan membingungkan masyarakat, terutama mereka yang masih kuat terikat pada tradisi Jawa. Hari pernikahan biasanya ditetapkan dengan memperhitungkan penanggalan Jawa, sehingga bisa jatuh pada hari atau jam-jam di luar waktu kantor. Selain itu, pada bulan-bulan "sibuk", seperti Dzulhijjah atau Syawal, KUA bisa melayani banyak pasangan, sehingga mereka harus antre.
Sungguh aneh Menteri Agama Suryadharma Ali justru membenarkan tindakan pak penghulu menerima uang pemberian itu. Menteri Agama menilai pemberian itu tidak tergolong gratifikasi. Aturan soal ini memang longgar. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah membolehkan akad nikah dilakukan di luar kantor sepanjang mendapatkan izin dari Kepala KUA.
Repotnya, aturan ini sama sekali tidak menyebutkan soal surat tugas dan biaya transportasi untuk para penghulu yang menikahkan di luar kantor. Lebih lucu lagi, kebanyakan hanya ada satu penghulu di kantor KUA, yakni sang Kepala KUA sendiri. Artinya, dia meminta dan memberikan izin kepada dirinya sendiri. Jika tak boleh menerima uang, mereka tekor, karena harus mengeluarkan biaya sendiri.
Karena itulah, aksi solidaritas para penghulu di Jawa Timur merupakan solusi yang tepat. Berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi, perkara ini sesungguhnya tak bisa dimasukkan ke kategori meragukan. Undang-undang ini terang-benderang menyatakan apa yang dilakukan Romli, dan para penghulu bisa dikategorikan gratifikasi yang diharamkan bagi pegawai negeri.
Selain itu, kasus penghulu Romli membuka modus korupsi berjemaah. Dengan tarif Rp 225 ribu, Romli ternyata tidak mengantonginya sendiri, tapi juga memberikan uang itu kepada banyak pihak, seperti aparat kelurahan atau kecamatan. Kejaksaan pun sudah tepat mengkategorikan kasus Romli dalam perkara korupsi.
Selain itu, Menteri Suryadharma harus membereskan aturan pernikahan agar tidak menimbulkan penafsiran yang keliru di kalangan pegawai Kementerian Agama. Masyarakat juga tak perlu memaksa para penghulu menikahkan anggota keluarganya di rumah.