Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Maluku

Oleh

image-gnews
Iklan
DI dusun-dusun miskin Brasilia, di kawasan serto, pada akhir abad ke-19, ada seorang pengkhotbah yang menjanjikan Ratu Adil. Namanya Antonio Conselheiro. Bertahun-tahun ia tak mendapatkan banyak pengikut. Tapi segalanya berubah ketika Brasil berganti dari sebuah kerajaan menjadi sebuah republik. Transisi itu mengguncang tatanan administrasi dan ekonomi seluruh negeri, dan cukup mengacaukan kehidupan tradisional di dusun-dusun yang sudah lama sengsara. Syahdan, pada suatu hari Conselheiro tiba di sebuah desa yang penduduknya tengah berontak melawan pemungut pajak. Ia pun memutuskan untuk memihak mereka, dan mengucapkan kata-kata yang kemudian jadi titik temu utama antara kemarahan rakyat dan nubuat-nubuatnya: "Republik adalah Antikristus." Bertahun-tahun sebelumnya Conselheiro tak pernah peduli apakah Brasilia sebaiknya tetap menjadi sebuah kerajaan atau berubah menjadi sebuah republik. Bertahun-tahun sebelumnya para penduduk yang marah itu tidak peduli akan Ratu Adil atau Iblis yang keji yang diulang-ulang dalam khotbah sang rohaniwan yang berjalan dari udik ke udik itu. Tetapi tiba-tiba, atau dengan segera, sejak itu, wacana yang dibawakan Conselheiro bukan saja bertaut dengan perasaan orang-orang miskin itu. Wacana itu bahkan seakan-akan menjadi sebuah permukaan tempat penduduk memahatkan segala bentuk frustrasi dan harapan di pedesaan. Dengan itu, amarah mereka pun dengan langsung mendapatkan tenaga baru, dan semakin meluas pula. Perlawanan berkembang menjadi sebuah pemberontakan besar. Pemerintah tak bisa mengalahkannya selama bertahun-tahun. Jika ditilik sekarang, pada abad ke-21 ini, kita tahu bahwa tema nubuat Conselheiro sebenarnya tak berhubungan dengan tema ketidakpuasan di dusun-dusun. Seperti telah disebutkan di atas, keduanya mula-mula terpisah. Apa arti "Antikristus" bagi dia, dan apa pula artinya bagi para jelata di serto, tentu jauh panggang dari api. Tetapi kemudian "Antikristus" bisa juga berarti "tidak adil", atau "sewenang-wenang", atau "menyengsarakan kita". Tuan Saussure, yang terkenal karena teorinya tentang bahasa itu, ternyata benar memang: sebuah kata, sebuah penanda, tidak punya hubungan yang alamiah dengan yang ditandainya. Makna bisa diberikan semau subyek-subyek yang bersepakat?sesuatu yang arbitrary, sebuah konvensi. Tapi bagaimana konvensi itu terjadi serta tumbuh, sehingga "Antikristus" (sebuah pengertian religius) sama artinya dengan "tidak adil" (sebuah pengertian sosial politik)? Prosesnya tentulah bukan karena ada sebuah atau sejumlah kesadaran yang secara rasional menentukan hal itu. Bukan pula karena ada seperangkat norma yang mengatur sebelum keputusan untuk membuat "Antikristus = tidak-adil" itu diambil. Dalam hal seperti ini, kesadaran di balik sebuah keputusan tidak bertindak ex nihilo, dari dasar yang kosong sama sekali. Ernesto Laclau, seorang pemikir "pasca-strukturalis" yang "kiri", yang dalam sebuah bukunya memaparkan cerita tentang sang pengkhotbah di kawasan serto itu, mengatakan sesuatu yang patut dicatat: sang subyek yang menentukan ibaratnya hanyalah "separuh" subyek?sebab ia, atau mereka, juga merupakan sebuah dunia yang dibentuk dari endapan pelbagai laku bertahun-tahun. Seorang filosof pernah mengatakan bahwa subyek atau kesadaran adalah "sepotong kepingan dari dunia." Dunia ini merupakan sebuah latar belakang, dan dari sana tersusun sebuah atau beberapa buah norma, yang membatasi luasnya pilihan-pilihan yang bisa diambil. Makna, dengan demikian, tak datang dari langit dan turun ke bumi, melainkan sebaliknya: ia lahir dari carut-marut sejarah, dengan debu, keringat, hasrat, dan frustrasi. Mungkin itu sebabnya orang perlu berhati-hati untuk menyimpulkan apa yang terjadi ketika orang berteriak "jihad!" atau "perang salib!" dan mengerahkan sejumlah kalimat dari Kitab Suci sebelum membunuh. Mungkin itu sebabnya orang tak bisa mengatakan bahwa di Maluku telah terjadi perang yang panjang dan biadab antar-umat beragama. Sebab barangkali yang berbenturan adalah letupan-letupan endapan sejarah yang tak ada hubungannya dengan kata "Allah" atau "Kristus". Mungkin malah benturan itu lebih dekat dengan perubahan demografi, atau pergeseran lapisan sosial, atau perbedaan pendapatan. Tidak, tak berarti bahwa ada orang-orang yang dalam perkara ini dengan sengaja memanipulasikan agama. Yang pasti, agama sebenarnya tak mendorong kebiadaban di Maluku?sebagaimana agama juga tak mendorong perdamaian di wilayah itu. Agama barangkali tak mendorong apa pun. "Islam" dan "Kristen" akhirnya sama dengan warna-warna ikat kepala yang dikenakan oleh orang-orang yang saling membunuh itu: semuanya adalah penanda, signifiers. Sebagai "penanda", mereka sebenarnya "kosong", tapi dalam kekosongan itu mereka selamanya diisi dengan "sesuatu". Apa gerangan "sesuatu" itu pada dasarnya ditentukan oleh hasil pergulatan dan persaingan antarsubyek, antarpelaku, dalam proses pembentukan konvensi. Mana yang mempunyai hegemoni (izinkanlah saya mengikuti Laclau yang mengikuti Antonio Gramsci) dialah yang menentukan. Dengan catatan: tak ada pemegang hegemoni yang di sana selama-lamanya. Manusia berubah, ketika ia mengubah. Mungkin dengan itu kita bisa lebih rendah hati, tapi juga tak jadi gentar, menyaksikan kekejaman di jalan-jalan Ambon. Sebab memang benar: Tuhan tak pernah singgah di barikade-barikade. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

45 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

49 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.