Iklan
SAYA tak tahu adakah Kuo Pau Kun seorang pemberontak. Saya hanya tahu ia pernah ditahan oleh pemerintah Singapura selama empat tahunsebuah masa yang detailnya tak pernah ia ceritakan. Dalam umurnya yang hampir 60 tahun, ketika saya bertemu dengannya buat pertama kali di Tokyo, ia tampak sebagai seseorang yang tak hendak memberi kesan apa pun kepada dunia: kemejanya, yang tak pernah disetrika, selalu dikenakannya seakan-akan hanya disampirkan. Tubuhnya tinggi, tapi tak pernah dibawakannya dengan dada terentang. Langkahnya tak pernah ragu, tapi tak pernah bergegas. Matanya memandang dengan cermat, tapi seperti selalu dalam posisi tersenyum, seakan-akan mengatakan, "Ya, saya mengerti." Bicaranya meyakinkan, tapi suaranya tak pernah naik. Leluconnya tak pernah disertai gerak tangan, ketawanya tak pernah terkekeh. Kini saya tak akan bisa menemuinya lagi: ia meninggal pekan lalu, setelah beberapa bulan kanker itu menyerangnya. Saya berada di Amerika ketika jasadnya dimakamkan, dan dengan kesedihan dan frustrasi, saya bertanya-tanya suara berkabung apakah yang terdengar di Singapura. Beberapa kenalan mengirimkan obituari yang ditulis dengan mengharukan oleh Dr. Kwok Kian Woon, teman kami bersama. Saya coba buka The Straits Times di internet. Tak saya temukan sebaris pun tentang penulis lakon dan sutradara yang dikenal luas di Asia iniorang yang telah membuat Singapura punya kehidupan kesenian yang menarik, ketika umumnya orang bertanya, ragu: mungkinkah? Tapi mungkinkah ia diabaikan? Jika Anda pernah melihatnya berjalan di Orchard Road, Anda akan gampang menyangka ia seorang engkoh guru dusun, yang di sana hanya lewat. Seakan-akan ada jarak (dengan "J") yang tak kelihatan antara dia dan etalase-etalase itu, yang bagaikan deretan akuarium yang megah menghamparkan keanekaan yang bergerak seperti ikan-ikan tropis: logo, desain, warna, cahaya, huruf. Kuo Pau Kun tampak tak tertarik untuk bermain mata dengan semua itu. Di dunia Orchard Road, ia seakan-akan datang dari album foto tahun 1950-an. Mungkin itulah cara ia memberontak: ia menampik untuk ditelan etalase. Ia berdiri, ia berjalan, ia bekerja seperti hendak mempertahankan sebuah dunia-kehidupan yang pelan-pelan mengelak untuk jadi kristal. Sebagian ini tentu lantaran teater. Ia pernah berkunjung ke Indonesia dan kami berbicara kenapa teater menyebabkan orang jadi peka akan yang-sementara, tapi juga tak takut. Pada akhirnya di pentas itu layar akan turun, setelah percakapan, perasaan, dan gerak berlangsung dengan intens. Tapi yang-sementara bukanlah segala-galanya. Ketika lampu padam, ada yang tak menjadi bekas. Sesuatu dari lakon itu akan kembali; sebuah tragedi dari masa sebelum Masehi bisa hadir seperti lakon hari ini. Setiap pementasan seakan-akan peristiwa yang lahir dari ketiadaan. Di situlah, apa yang berhenti tak akan hilang. Dunia yang telah jadi kristal, yang dikemas dan diteriakkan sebagai sesuatu yang baru, justru tak diciptakan kembali. Juga di kemegahan Orchard Road, komoditi hidup untuk menjadi barang bekas. Sebab itu Kuo Pau Kun adalah sebuah alternatif bagi dunia Orchard Road. Bahkan bagi saya ia sebuah alternatif bagi etos yang dibangun tak henti-hentinya di Singapurasebuah "etos Odysseus". Syahdan, di atas kapalnya yang berlayar kembali dari Perang Troya, pada suatu malam di dekat sebuah pulau bersihir, Odysseus memerintahkan agar tubuhnya erat-erat diikat ke tiang agung, supaya ia bisa mendengarkan suara nyanyian peri laut yang merdu, tapi tak sampai lari menghambur dari kapal karena tergoda. Keutamaan mengikat-diri-di-tiang-agung inilah yang ditrompetkan dari atas di Singapura: tiap kali orang selalu diingatkan akan perlunya disiplin dan kerapian, akan perlunya prestasi, akan bahaya krisis dan godaan dan kelengahanjustru di tengah pesona dunia kristal yang tak kunjung berhenti. Tapi yang sering diabaikan ialah bahwa di tengah bahtera itu Odysseus, sang penguasa, tetap bisa menikmati nyanyian para peri laut, sendirian, seraya menunjukkan bahwa ia bisa menguasai tubuh. Bagaimana dengan awak kapal lain? Dan mungkinkah Odysseus mengikat tubuhnya selama-lamanya? Mustahildan sebab itu dunia Kuo Pau Kun adalah sebuah alternatif. Ia berbicara tentang "bermain". "Mari kita tidak bertanggung jawab," itulah kata-katanya yang mengejutkan dan sekaligus kocak ketika ia berceramah di depan umum di Tokyo pada tahun 1997. Pada dasarnya ia berbicara bahwa ada yang tak bertujuan tapi perlu. Ada laku manusia yang berharga karena tak dijajah oleh "guna", tak dikungkung perhitungan efisiensi, rencana, dan dorongan untuk prestasi. Sebab manusia memang homo ludens, makhluk yang bermain. Teater sesuai benar dengan itu: play, kata bahasa Inggrisnya, mengandung arti "sandiwara" maupun "permainan". Di sana orang tak perlu, dan tak diminta, mengikatkan diri ke mana pun. Sebab di sana nyanyian peri laut bukan satu-satunya kemerduan, hingga begitu memukau. Di dunia play, malam punya pelbagai suara. Kuo Pau Kun tak henti-hentinya mencoba membuat pelbagai suara itu untuk orang lain. Ada yang luar biasa pada dia: keseniannya adalah bagian dari hatinya yang memberi dan bersabar. Agustus yang lalu saya datang ke rumahnya di Singapura, menemuinya dan menemui istrinya, Lay Kuan, partnernya dalam dunia seni pertunjukan. Pau Kun terbaring, lemah, di kamar yang sederhana itu. Ia tersenyum. Kami berpelukan. Saya rasa ia tahu bahwa akhir itu sudah dekat. Tapi ia tak melihat ke dirinya sendiri. Goenawan Mohamad